"Radikalisme" Versus Radikalisme

Beberapa hari lalu masyarakat, khususnya umat Islam, dihebohkan dengan tindakan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menutup atau memblokir sejumlah laman situs internet bernuansa Islami. Alasannya adalah, laman situs tersebut dianggap situs-situs yang menyuarakan radikalisme. Namun akhirnya, publik pun bereaksi dan mempertanyakan langkah pemerintah tersebut. Mulai dari benarkah laman situs tersebut mengandung unsur radikalisme, sampai pada mekanisme penutupannya.

Satu hal yang memang menjadi kesepakatan bersama adalah, bahwa paham-paham radikalisme memang harus dilawan dan jangan dibiarkan tumbuh subur. Radikalisme, apalagi yang mengatasnamakan agama Islam, bukan saja membahayakan stabilitas negara, melainkan juga sejatinya telah mengotori kesucian agama Islam itu sendiri.

Agama Islam adalah agama yang penuh dengan nilai-nilai kedamaian, lemah lembut, rahmatan lil ‘alamin, yang semua itu tentu sangat bertentangan dengan radikalisme. Nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah merupakan nilai-nilai yang universal yang sejatinya dapat diterima oleh semua kalangan melalui akal pikiran maupun hati nurani, dan bukan dengan paksaan. Karena di dalam al-Quran sendiri telah ditegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.

Terlebih kita meyakini bahwa soal hidayah adalah urusan Allah, dan bahkan Rasulullah pun tidak memiliki kewenangan untuk itu. Jadi apalah artinya paksaan dalam menjalankan agama, kalau Allah memang belum memberikan hidayah-Nya. Sehingga dengan demikian, radikalisme memang tidak sedikitpun mendapat tempat di dalam agama Islam.

Jadi, radikalisme harus diberantas bukan saja berlandaskan alasan-alasan nasionalitas, melainkan juga berdasarkan alasan-alasan agama Islam itu sendiri.

Namun di lain sisi, bahwa salah satu penyebab munculnya paham radikalisme yang lahir dari pemahaman ajaran agama Islam, itu memang harus kita akui secara jujur. Namun ini tidak dapat diartikan bahwa ajaran Islamnya yang salah, melainkan pemahaman terhadap ajaran Islam tersebut yang mungkin keliru. 

Pemahaman ajaran Islam yang mungkin keliru ataupun diselewengkan itu memang harus diberikan pencerahan melalui pemahaman tandingan. Maka dalam konteks ini, pemikiran moderat bisa menjadi jalan keluarnya. Pemikiran moderat yang memang lahir dari pendalaman, penafsiran dan penghayatan terhadap ajaran agama Islam itu sendiri, bukan pemikiran moderat yang lahir dari ajaran-ajaran nasionalisme. Karena biasanya, kelompok-kelompok yang memahami ajaran Islam secara radikal itu susah menerima argumentasi-argumentasi yang dibangun dari ajaran nasionalisme.

Maka di sinilah peranan penting dakwah dalam memberantas paham-paham radikal yang muncul dari kalangan umat Islam. Dakwah yang dibangun adalah berbasis pada ilmu, seperti yang telah dicontohkan dan dilakukan oleh para ulama terdahulu. Dengan kedalaman ilmunya, para ulama terdahulu sebut saja seperti Imam Syafi’i atupun Imam al-Ghazali, mampu menghalau pemikiran-pemikiran yang melenceng dari ajaran Islam sesungguhnya.

Hal ini tentu tidak hanya menjadi pekerjaan pemerintah dalam memerangi paham radikalisme, melainkan juga pekerjaan semua pihak, terutama para ulama. Dakwah-dakwah dengan ilmu dan tindakan persuasif lah yang harus dikedepankan. Bahkan dalam bahasa yang sedikit berlebihan, berkembang pesatnya paham radikalisme ini seharusnya menjadi “tamparan” bagi para ulama.

Tindakan Represif

Terkait dengan kasus pemblokiran laman situs-situs yang dianggap radikal tadi, tindakan pemerintah tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan represif. Tentu tindakan represif ini tidak dapat dibenarkan dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi dan negara hukum.

Dari sisi demokrasi, tindakan represif ini jelas sangat bertentangan dengan semangat demokrasi, terlebih yang kita bangun pascareformasi. Jika tindakan represif ini dilakukan pemerintah saat ini, lantas apa bedanya dengan rezim orde sebelumnya yang juga represif. Jika kebebasan pers dikekang sampai pada tindakan pembredelan, lantas apa bedanya dengan situasi sebelum reformasi. Padahal salah satu dari semangat reformasi adalah dibukanya kebebasan pers.

Dalam negara demokrasi, semua warga negara diberi kebebasan berekspresi, berpikir, menyatakan pendapat, bahkan melakukan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa sekalipun. Sehingga dalam konteks ini, seharusnya umat Islam pun dapat merasakan atmosfer demokrasi seperti itu. Terlabih mayoritas warga negara dan penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Bukan malah umat Islam mengalami tindakan diskriminasi dan intoleransi di dalam negara yang notabene negara Muslim terbesar di dunia. Dengan kata lain, jangan sampai agenda deradikalisasi justru berubah menjadi deislamisasi.

Bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat tersebut harus diikat di dalam sebuah kepentingan nasional, maka dalam hal ini penulis pun sepakat. Sebagai contoh, kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak berlaku bagi pahaman komunisme di negeri ini, karena penyebaran paham itu memang telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Di sinilah peranan hukum dan pentingnya keseimbangan antara negara demokrasi dan negara hukum.

Maka dari sisi hukum, proses penutupan laman situs-situs tersebut pun seharusnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Namun sayangnya, proses penutupan tersebut telah melompati prosedur hukum yang ada. Seharusnya penutupan dilakukan atas izin hakim melalui mekanisme peradilan, setelah sebelumnya tentu disertai dengan bukti-bukti hukum bahwa laman situs tersebut memang melanggar undang-undang. Bukan malah ditutup secara sepihak, bahkan pemilik laman situsnya pun tidak menerima peringatan terlebih dahulu.

Dengan demikian, jika upaya deradikalisasi ini justru dilakukan dengan cara-cara yang represif, penulis meyakini bahwa upaya tersebut akan sia-sia saja. Bahkan dengan cara-cara yang represif ini, justru akan menumbuh-subuhkan radikalisme itu sendiri. Mengapa demikian? Hal ini karena kelompok-kelompok yang berpaham radikal tersebut merasa didzalimi atau merasa berada di dalam pemerintahan yang dzalim. Sehingga demikian, semangat “jihad” pun semakin berkobar dan menggelora untuk melakukan tindakan radikal.

Alhasil, terhadap laman situs-situs yang diblokir—terlepas dari apakah laman situs-situs tersebut memang mengandung unsur-unsur yang menyerukan kepada radikalisme atau tidak—seharusnya pemerintah tetap bisa melakukan tindakan-tindakan persuasif. Jika pemerintah bersikukuh bahwa laman situs-situs tersebut memang memuat konten yang mengandung unsur radikalisme—meski menurut penulis tidak semua situs yang diblokir itu sebenarnya murni berpaham radikal—lalu menutupnya secara represif, maka ini artinya “radikalisme” dilawan dengan “radikalisme”. Padahal radikalisme tidak dapat diselesaikan dengan radikalisme, karena hanya akan semakin memperkeruh suasana. Wallahu’alam.[]

Oleh: Ahmad Sadzali
Kamis, 16 April 2015
Posted by Unknown
Tag :

Budaya Birokrasi Korup

Beberapa saat lagi kita memasuki era kepemimpinan baru. Era di ana harapan baru juga muncul di tengah rakyat Indonesia. Tidak ada salahnya untuk terus berharap adanya perbaikan di negeri ini. Harapan yang baik tentu dituangkan melalui keikutsertaan dalam Pemilu mendatang. Karena harapan jika diiringi dengan aksi golongan putih (Golput) tidaklah berarti apa-apa.

Banyak harapan yang muncul menjelang regenerasi kepemimpinan nasional ini. Sekian banyak harapan tersebut berujung adanya perbaikan dalam segala bidang. Namun ada hal yang mendasar yang perlu diperbaiki terlebih dahulu, jika kita memang ingin mengadakan perbaikan yang serius. Hal tersebut adalah perbaikan di bidang birokrasi.

Pasalnya, walau bagaimanapun kita meneriakkan perubahan, perbaikan, peningkatan kesejahteraan publik, kepastian hukum, kemakmuran, kesejahteraan, dan seterusnya, jika tanpa diawali dengan langkah dasar melakukan perbaikan birokrasi, hasilnya akan nihil. Semua harapan dan teriakan tersebut tidak akan terwujud, selama birokasi korup di negeri ini masih membudaya.

Buktinya, sudah lebih dari satu setengah dekade reformasi di negeri kita ini bergulir, hasilnya tak ada perbaikan signifikan yang kita rasakan. Mirisnya, belakangan ini malah banyak lelucon anekdot, baik itu ditulis di kaos oblong, stiker, maupun media lainnya, yang menyatakan bahwa era Orde Baru lebih enak dan baik dari sekarang. Ada juga tulisan, “Seandainya pak Harto mencapres lagi, kupilih!”

Padahal, soal penyakit birokrasi antara masa Orde Baru dan era reformasi saat ini tidak jauh berbeda. Penyakit utamanya hampir sama. Cuma kemasannya yang berubah.

Di masa Orde Baru, wajah birokrasi negara kita didominasi oleh Golongan Karya (Golkar) dan ABRI. Semua PNS wajib menjadi anggota Golkar. Pada dasarnya Golkar memang tidak ingin disebut sebagai partai politik, melainkan lebih sebagai himpunan pekerja karya yang mengabdi kepada rakyat.

Mengingat fungsi Golkar yang juga sebagai partai politik, akhirnya kebijakan yang keluar dari corong birokrasi yang dimonopoli tadi lebih berpihak kepada kepentingan suatu golongan tertentu saja. Birokrasi akhirnya menjadi alat untuk mobilisasi massa guna mendukung dan memenangkan Soeharto di setiap Pemilu. Sistem birokrasi ketika itu sudah menganut monoloyalitas kepada Golkar.

William Liddle menyebut penyakit Orde Baru ini ke dalam tiga hal, yaitu: 1) kantor kepresidenan yang kuat; 2) militer yang dibiarkan berpolitik; 3) birokrasi sebagai pusat pengambil kebijakan publik.

Kantor kepresidenan yang kuat ini berimplikasi pada pelemahan fungsi parlemen dan partai politik. Kontrol lembaga legislatif terhadap eksekutif seakan menjadi seekor singa yang tak bertaring. Di sinilah biangnya yang sering kita sebut sebagai pemerintahan otoriter.
Kemudian untuk semakin memperlemah partai politik di parlemen, militer pun dibiarkan berpolitik. Tujuan lainnya adalah untuk memperkuat dan memperkokoh kedudukan Soeharto dalam setiap Pemilu presiden. Suatu kebijakan yang sangat bertentangan dengan prinsip sang Proklamator, Soekarno, bahwa militer tidak boleh berpolitik. Tugas militer hanyalah menjaga stabilitas keamanan negara.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis laporannya pada 2000. Di masa Orde Baru banyak sekali terjadi praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam lingkup birokrasi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan publik. Sementara itu, hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang juga pada 2000, menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara korupsi tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Lantas bagaimana dengan kabar birokrasi kita di era reformasi?

Reformasi memang membawa cukup banyak perubahan, baik dalam amandemen konstitusi, kebebasan pers dan berpendapat, dan sebagainya. Indonesia seperti seekor burung yang lepas dari sangkarnya, menghirup udara bebas. Monoloyalitas terhadap satu partai atau golongan sudah lenyap.

Salah satu barometer untuk mengukur bagus tidaknya birokrasi yang tengah berjalan di negeri kita ini adalah dengan melihatnya dari angka korupsi di kalangan birokrat. Jika dilihat berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2010, ternyata tingkat korupsi di negara kita masih tinggi.

Di era reformasi, birokrasi justru menjadi sumber pemborosan biaya anggaran negara. Tercatat, di hampir 450-an kabupaten/kotamadya di Indonesia, sebanyak 70 persen anggaran daerah dikeluarkan untuk belanja pegawai. Akhirnya pembangunan daerah menjadi relatif lambat, akibat korban dari pemborosan tadi.

Soal persepsi dan framework yang ada di kalangan pegawai birokrat pun masih menjadi masalah klasik yang hingga kini belum terselesaikan. Persepsi itu bahkan semakin berkembang, hingga muncul anggapan di tengah masyarakat bahwa menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai birokrat itu suatu hal yang prestisius, terutama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Ketika sudah menjadi pegawai birokrat, ternyata banyak juga yang lupa bahwa mereka itu digaji dari uang rakyat. Selama ini banyak dari mereka yang beranggapan bahwa gaji tersebut berasal dari pemerintah. Akibatnya, pelayanan publik pun menjadi tidak maksimal. Rakyat yang seharusnya menjadi tuan yang mesti dilayani dengan baik, justru ‘wajib’ hormat kepada pejabat birokrat.

Publik selalu dijadikan sebagai objek kepentingan para pejabat birokrat. Untuk mengeluarkan kebijakan pelayanan publik, masih banyak hitung-hitungan untung-rugi bagi kelompok tertentu. Ini semua disebabkan rendahnya rasa pertanggungjawaban pejabat birokrat kepada publik. Mereka merasa bertanggung jawab kepada atasannya saja.

Lebih jauh lagi, birokrasi yang seharusnya apolitik, di era reformasi justru berubah menjadi birokrasi politik. Artinya birokrasi sudah sarat dengan pertimbangan politik dan kepentingan partai politik tertentu. Birokrasi dijadikan barang dagangan politik. Yang menjadi pemain adalah para elit politik, lembaga eksekutif, legislatif hingga yudikatif, plus para pengusaha. Buktinya, sekarang korupsi sudah masuk sampai kepada ketua Parpol, bahkan Mahkamah Konstitusi.

Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban rusaknya birokrasi di negeri ini. Perbaikan yang diharapkan seluruh rakyat Indonesia sejak awal reformasi lalu, ternyata nihil. Tidak sedikit rakyat yang hampir atau bahkan sudah pesimis memandang masa depan negara ini, bahkan hingga pelaksanaan Pemilu sudah di ambang pintu.

Sekarang di masa-masa kampanye, menjadi tugas Parpol untuk menumbuhkan harapan itu lagi. Partai apa pun pemenang Pemilu nanti, sudah seharusnya benar-benar melakukan reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya dilakukan dengan pengubah aturan-aturan dan mekanisme kerja saja, melainkan harus beranjak dari reformasi persepsi dan framework. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali
Dimuat di harian Banjarmasin Post pada Selasa, 25 Maret 2014.
Selasa, 14 April 2015
Posted by Unknown
Tag :

Wahai!

Wahai!
Tatkala jiwa ini redup dalam kelaliman penguasa
Kami harus berjuang hancurkan kokohnya dinding derita
Saat tidak ada lagi rasa sesama
Bak menghantam detak jantung di dada

Wahai!
Nikmat sekali hidup dalam cawang raksasa
Tak ada sengsara yang dirasa

Wahai!
Kami semua menunggu laksana
Perubahan nasib yang menjadi nyata

Shaqr (24/12/12)

Rabu, 06 November 2013
Posted by Unknown
Tag :

Kontroversi Cinta

Manusia hidup dalam segudang eskalasi masalah
layaknya mata rantai simbiosis yang tak pernah putus
pupus dan lumpuh di dalam genangan kimialistik limbah
menghadapinya adalah tindakan solutif utama
bukan malah lari bak dikejar material vulkanik 


Molekul masalah ini melekat dalam special relationship
tentu juga menerpa senyawa ABCD di bawah MoU planetarium
prosesi ju aju biasanya mewarnasisasi senyawa ABCD tadi
namun tak lama, senyawa itu kembali mengalami adaptasi

Rekonsiliasi ini membuahkan harmonisasi perasaan
menghilangkan setiap kesenjangan problematika hubungan
cukup dianggap sebagai parodisasi hedonisme duniawi
virus itu tak dapat berfotosintesis dalam skup lebih luas

Fenomenologi kontroversi ini lumrah dan wajar adanya
ia bagian dari eksperimen realitas kehidupan manusia
fase-fase ini secara mandiri akan mengalami kristalisasi
perlu komitmen pada negosiasi tanpa harus ada mobilisasi

Labilitas jiwa memang menempati terminal khusus
ekonomisasi ataupun materialisasi kadang menjadi kasus
tapi jika senyawa tadi sudah diinstall anti virus
niscaya faktor tadi dapat teratasi dan kembali harmonis

Begitulah kontroversi cinta
wujudnya bagai parasitisme cinta
kadang dapat mengaputasi cinta
but also kadang be the glue bagi cinta 

Tanah Tandus Shaqr, 19 September 2013
Kamis, 19 September 2013
Posted by Unknown
Tag :

Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir Bag. II

Kudeta di Mesir terhadap presiden terpilih secara demokratis pada tanggal 3 Juli 2013 lalu sentak menjadi perhatian seluruh dunia. Pro kontra tentang kudeta tersebut pun lantas menghiasi wacana berpikir setiap orang yang mengikuti beritanya. Pertikaian opini dan argument tentu tidak dapat terelakkan lagi. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik dari kisruh kudeta ini.

Pada catatan Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir bagian pertama saya membahas soal provokasi dan propaganda yang dilakukan oleh pendukung Presiden Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin. Propaganda tersebut menjadi penting untuk dibahas, karena jika dibiarkan berkeliaran, bisa bermutasi menjadi politisasi agama. Alias “menjual” simbol-simbol agama demi kekuasaan politik. Karena kisruh dan konflik yang terjadi di Mesir pada dasarnya adalah perkara politik, bukan perkara agama. Pasalnya jika disebut konflik ini adalah perkara agama, lantas siapa yang musuh dan siapa yang kawan? Apakah umat Islam sudah saling bermusuhan?

Kali ini saya berusaha membahas propaganda dan provokasi dari kubu sebelah, yaitu kubu pro kudeta. Karena pada realitanya yang terjadi di Mesir saat ini adalah perang propaganda yang dilancarkan berbagai media massa. Media yang pro Mursi melancarkan propagandanya sendiri, dan media yang pro kudeta pun demikian. Masing-masing memiliki propaganda. Sehingga tidak adil jika propaganda yang kita kritik hanya propaganda dari kubu pro Mursi saja.

Ada beberapa poin dari propaganda pro kudeta yang saya perhatikan. Propaganda ini bahkan sudah ada sejak sebelum kudeta. 

Pertama, stigma Ikhwanisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Mursi. Titik tolak stigma ini bisa kita amati sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden Mursi pada bulan November 2012 silam. Dengan Dekrit itu, Mursi kemudian dinilai telah menerapkan diktatorisme model baru di Mesir pasca revolusi. Pasalnya, tujuan utama Dekrit tersebut diselewengkan menjadi ambisi kekuasaan yang tak terbatas.

Padahal maksud utama dari Dekrit tersebut adalah untuk melindungi konstitusi. Parlemen yang terpilih secara demokrasi melalui Pemilu legislatif telah dibubarkan oleh Dewan Militer. Alasannya, Pemilu legislatif yang telah dilakukan tersebut telah melanggar konstitusi. Dengan dibubarkannya Parlemen yang mayoritas dikuasai oleh kelomok Islamis tersebut, terang saja menjadi ancaman terhadap konstitusi Mesir yang baru.

Melalui Dekrit tersebut, Presiden Mursi kemudian membentuk suatu Komite Konstituante yang bertugas untuk merancang konstitusi. Selanjutnya untuk memastikan rancangan konstitusi tersebut diterima oleh rakyat atau tidak, Presiden Mursi memutuskan untuk menggelar referendum. Dalam referendum ini, kekuatan politik Ikhwanul Muslimin sekali lagi terbukti, setelah sebelumnya memenangkan Pemilu legislatif dan presiden sekaligus. Hasilnya, 63,83% atau 10.693.911 suara menyatakan setuju terhadap rancangan konstitusi tersebut. Sementara 36,17% atau 6.061.011 suara saja yang menolaknya. Jumlah partisipasi referendum seluruhnya sebanyak 17.058.317 pemilih.

Indikasi lain dari wacana Ikhwanisasi yang dituduhkan terhadap pemerintahan Presiden Mursi adalah anggapan bahwa Mursi tidak mau membagi kekuasaannya. Padahal awal-awal terpilihnya Mursi, saya mendengar wacana bahwa Mursi akan mengangkat wakil presiden dari tiga golongan, yaitu perempuan, Kristen Koptik dan Islam. Calon Perdana Menteri pun digayang-gayang ketika itu akan jatuh di tangan Muhammad Elbaradei. Namun entah kenapa rencana Mursi tersebut ternyata tidak terlaksana.

Kedua, penilaian sepihak dan tidak berimbang terhadap kinerja Presiden Mursi. Hasil-hasil positif yang diraih oleh pemerintahan Mursi seperti stabilitas ekonomi dan peningkatan pedapatan negara melalui Terusan Suez ataupun pariwisata, diabaikan begitu saja. Sementara segala kegagalan pemerintahan Presiden Mursi diekspos secara berlebihan. Stigma yang muncul kemudian, bahwa pemerintahan Presiden Mursi telah gagal dalam menjalankan pemerintahan.

Tidak hanya itu, gangguan yang bertubi-tubi terhadap pemerintah Mursi terus-menerus dilancarkan dari kubu sekuler-liberal maupun loyalis rezim Husni Mubarak yang masih bercokol di beberapa pos penting. Fakta nyata adalah berbagai sabotase yang dilakukan terhadap fasilitas publik, seperti seringnya pemadaman listrik, kekosongan bahan bakar, maupun aliran air yang tidak lancar. Bukti bahwa itu semua sabotase adalah, pasca turunnya Presiden Mursi, semua krisis fasilitas publik tersebut hilang dengan sekejap.

Dengan kondisi ini semua, beberapa orang Mesir yang saya tanyai tentang kinerja pemerintahan Mursi lantas begumam, “Masa Mubarak lebih baik dari masa Mursi sekarang.”

Dapat dibayangkan, satu tahun pemerintahan Mursi itu penuh dengan berbagai tuntutan dari rakyat untuk memperbaiki kondisi dalam negeri. Waktu satu tahun tentu tidaklah cukup untuk menyelesaikan segala permasalahan Mesir.

Ketiga, kekompakan media massa untuk menyudutkan Presiden Mursi. Media-media nasional Mesir, berkolaborasi dengan Gerakan Tamarud dan Front Penyelamatan Nasional, bersama-sama mengeroyok Presiden Mursi. Isu-isu yang sudah terbangun sebelumnya, semakin digencarkan lagi melalui berbagai media massa. Bahkan rencana demonstrasi massal menuntut turunnya Mursi pada tanggal 30 Juni 2013 secara terang-terangan diiklankan di berbagai televisi nasional Mesir ataupun televisi swasta yang disinyalir milik kubu sekuler.

Keempat, adanya peranan Amerika Serikat terhadap propaganda media untuk menyudutkan pemerintah Mursi. Pada tanggal 12 Juli 2013, Aljazeera merilis laporan yang mengatakan bahwa puluhan dokumen pemerintah Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa Washington telah mendanai politisi oposisi yang menyerukan penggulingan Presiden Mursi. Dana tersebut disalurkan melalui program Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dalam rangka promosi demokrasi di Timur Tengah.

Di antara saluran dana dari Amerika tersebut masuk ke Front Penyelamatan Nasional, orang-orang Kristen Koptik yang berada di luar negeri, dan anggota oposisi lainnya. Laporan ini juga diperjelas dengan menunjukkan nama dan dokumen dalam jumlah besar yang diperoleh oleh penentang Mursi untuk dapat memobilisasi opini publik melalui media, situs jejaring sosial dan lainnya.

Kelima, fenomena pembakaran gereja dan beberapa fasilitas negara yang selanjutnya dituduhkan kepada Ikhwanul Muslimin sebagai pelakunya. Meski secara jujur saya masih tidak berani memastikan siapa sebenarnya dalang di balik semua itu, namun secara logika hal tersebut masih menyisakan ruang kritis. Penemuan berbagai senjata api, peluru dan bom molotov di Rabiah Adawiyah pasca penggusuran demonstran juga masih dapat dikritisi. Intinya, segala konspirasi dan manipulasi mungkin saja dilakukan guna menyudutkan Ikhwanul Muslimin. 

Alasan inilah yang dipakai untuk menggunakan kekerasan terhadap demonstran pro Mursi. Pembantaian yang terjadi terhadap demonstran pro Mursi ini setidaknya semakin mempersempit upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh al-Azhar dan pihak lainnya dari kubu Darul Hikmah.

Keenam, penyematan gelar “teroris” yang begitu cepat terhadap Ikhwanul Muslimin. Menurut saya ini hal teraneh yang pernah saya temukan di Mesir. Memang tidak menutup kemungkinan ada dari kelompok Ikhwanul Muslimin yang berasal dari golongan ekstrimis yang bisa saja mempersenjatai diri mereka. Akan tetapi yang jelas tidak dapat diterima akal sehat adalah generalisir sematan tersebut. Sehingga hasilnya, seluruh anggota Ikhwanul Muslimin adalah teroris. Padahal di dalam tubuh organisasi ini juga ada ulama-ulama al-Azhar. 

Penyematan gelar “teroris” ini sesungguhnya sudah masuk pada tarap deikhwanisasi. Ikhwanul Muslimin sepertinya ingin benar-benar dilenyapkan dari bumi Mesir. Padahal al-Azhar sudah berkali-kali memperingatkan militer dan pemerintah interim untuk membekaskan para petinggi Ikhwanul Muslimin, dengan alasan persamaan hak dalam partisipasi politik bagi seluruh rakyat Mesir.

Terkait dengan penanganan demonstran, al-Azhar sudah memberikan penjelasan dan himbauan kepada keamanan dan militer Mesir agar dapat membedakan antara demonstran yang rusuh dan bersenjata dengan demonstran yang damai.

Lantas perlukan membenci dan bersikap anti terhadap militer Mesir?

Sejauh tindakan militer tersebut di luar batas kemanusiaan, maka tentu kita tidak bisa menerimanya. Siapapun akan bersalah dan disalahkan jika membunuh orang tanpa sebab yang syar’i, apalagi sesama Muslim. Jangankan darah seorang Muslim, darah orang kafir pun haram selama mereka tidak mememerangi kita.

Militer memang bisa salah dan berbuat ceroboh. Akan tetapi yang perlu kita garisbawahi adalah, tidak serta merta karena kesalahannya itu kita lantas membeci dan anti militer secara frontal. Walau bagaimanapun, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusri Jabir, militer Mesir adalah orang yang paling terdepan jika berperang melawan Yahudi Israel. 

Masih banyak tentunya pelajaran yang bisa diambil dari kisruh politik Mesir ini. Intinya adalah, setiap kubu di sini memiliki propagandanya masing-masing. Simpang siur berita dan infromasi pun kerap terjadi. Inilah yang disebut dengan zaman fitnah. Jadi kita harus selalu waspada dan hati-hati. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali

Selasa, 20 Agustus 2013
Posted by Unknown
Tag :

Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir Bag. I

Kudeta Militer tanggal 3 Juli 2013 lalu telah menorehkan sejarah baru dalam percaturan politik dunia. Kudeta itu telah mencoreng sistem demokrasi yang tengah dijalankan Mesir dan digemborkan oleh dunia Barat, khususnya Amerika Serikat. Namun anehnya, Amerika Serikat sebagai negara pengkampanye demokrasi sendiri masih bungkam untuk mengatakan bahwa yang terjadi terhadap Presiden terpilih Dr. Muhammad Mursi itu sebagai bentuk kudeta. 

Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa bersejarah di Mesir tersebut. Bukan hanya rakyat Mesir sendiri yang merasakannya, namun seluruh umat Islam dan dunia internasional. Berikut ini penulis berusaha menganalisa pelajaran-pelajaran penting tersebut, berlandaskan pada observasi pribadi.

Pertama, logika demokrasi sudah mengalahkan logika syariat. Ketika Presiden Dr. Muhammad Mursi dikudeta oleh militer Mesir dengan dukungan aksi demonstrasi besar pada 30 Juni 2013, para pendukung Mursi dan Ikhwanul Muslimin serentak mengatakan tindakan militer itu melanggar demokrasi. Tidak hanya yang berada di Mesir, umat Islam yang berada di berbagai penjuru dunia pun, termasuk di Indonesia, tersentak dengan pristiwa itu. Karena memang benar tindakan kudeta itu sangat bertentangan dengan demokrasi, lantas mereka pun menentang militer Mesir.

Logika demokrasi memang mengatakan bahwa kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya yang memberika kekuasaan dalam logika demokrasi adalah rakyat. Makanya muncul istilah suara rakyat suara Tuhan. Berdasarkan logika ini, lantas pendukung Mursi dan Ikhwanul Muslimin selalu melawan tindakan kudeta dan berdemonstrasi menuntut kekuasaan Mursi dikembalikan dengan dalih demokrasi dan menuntut keadilan.

Padahal logika syariat jelas tidak berkata seperti itu. Berdasarkan logika syariat, kekuasaan itu tentu berasal dari Allah SWT. Yang memberikan dan mencabut kekuasaan adalah Allah SWT. Nas al-Quran sangat jelas dan tegas menyatakan seperti itu. "Katakanlah (Muhammad), "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki."

Jadi jelas, logika syariat akan mengatakan bahwa kekuasaan Presiden Mursi itu bukan dicabut oleh kudeta militer, melainkan Allah SWT yang mencabutnya. Pencabutan kekuasaan ini mungkin seperti kematian, Allah SWT Yang Maha Berkehendak.

Tidak salah memang upaya dan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Namun jika ingin mendapatkan kembali kekuasaan tersebut, mari mengikuti aturan yang sudah ditetapkan lagi. Sehingga perjuangan politik Islam yang sejati dan ambisi rakus kekuasaan tidak terlihat tipis perbedaannya. Jika memang Allah SWT menghendaki kekuasaan itu kembali ke tangan Ikhwanul Muslimin, niscaya kekuasaan itu akan kembali lagi.

Namun jika jalur yang ditempuh untuk merebut kembali kekuasaan itu adalah dengan berdemonstrasi terus menerus, yang ada justru hanya ngotot-ngototan mempertahankan sikap setiap golongan, sementara mudaratnya semakin tinggi. Terbukti, korban jiwa yang sudah jatuh sudah ratusan lebih.

Kedua, ukhuwah Islamiah terbukti sangat kuat sekali. Melihat kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin didzalimi militer Mesir, serentak umat Islam diberbagai penjuru dunia melontarkan kecaman terhadap militer Mesir. 

Namun sayangnya, ukhuwah Islamiah yang begitu kuat ini ternyata masih dipolitisi untuk ambisi politik. Krisis politik lantas dihubungkan dengan agama Islam, dengan alasan ukhuwah, jihad, dan lain sebagainya. 

Oleh karena itulah, ulama-ulama al-Azhar lantas dengan tegas menyatakan bahwa kisruh politik Mesir saat ini tidak ada sangkut-pautnya dengan agama Islam. Jadi jangan bawa simbol-simbol Islam dalam perkara itu hanya untuk mencari simpati dari kekuatan ukhuwah Islamiah. Itu murni urusan politik dan perebutan kekuasaan. 

Namun pernyataan ulama-ulama al-Azhar itu lantas banyak yang diselewengkan dan tidak dipahami secara benar. Pernyataan seperti itu lantas dibilang sekuler, liberal dan lain sebagainya. Asal mendengar politik tidak ada hubungannya dengan Islam, pernyataan miring seperti itu lantas meletus-letus. 

Saya berusaha memahami dan memahamkan pendapat seperti itu. Sikap ulama-ulama Al-Azhar sebenarnya bukan pro-militer, tapi mengedepankan maslahat dan benar-benar berpegang pada prinsip syariat Islam. Adapun yang dibilang bahwa urusan Ikhwanul Muslimin dan krisis di Mesir sekarang ini memang benar tidak ada sangkut pautnya dengan agama Islam. Itu adalah masalah politik dan perebutan kekuasaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Apalagi membawa simbol-simbol agama, hanya untuk mencari simpati, seperti penggunaan istilah syahid dan jihad.

Namun sayangnya, terkadang di poin ini orang-orang yang salah menangkap dan memahaminya. Mendengar politik tidak ada hubungannya dengan agama, lantas pernyataan itu dinilai sekular atau liberal. Padahal yang dimaksud bukan demikian. Politik dan agama Islam itu sangat erat hubungannya. Gak bisa dipisahkan. Tapi, yang dimaksud para ulama al-Azhar itu adalah, KASUS yang terjadi sekarang, itu bukan perang agama atau perjuangan agama, melainkan perjuangan perebutan kekuasaan.

Dr. Muhammad Imarah pernah mengatakan soal hubungan negara dan agama Islam. Selama ini hubungan antara agama dan negara sepertinya hanya terbagi menjadi dua jenis: 1) penggabungan agama dan negara, yaitu menjadi negara teokrasi, seperti era Kegelapan Eropa dulu ketika negara dikuasai gereja. 2) sekuler, dimana agama dipisahkan dari negara. Sedangkan dalam Islam, sebenarnya tidak mengenal keduanya secara mutlak. 

Untuk yang sekuler, dalam bahasa Arab biasanya disebut fashlu din 'an daulah. Yang benar dalam Islam itu, menurut Dr. Imarah, adalah tamyiz din 'an daulah. Istilah tamyiz seperti ini memang susah jika dicari terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Tamyiz di sini maksudnya adalah filterasi atau pemilahan mana perkara yang merupakan bagian dari agama dan sekaligus negara atau politik, dan mana yang mursi bagian dari urusan negara atau politik.

Jadi, pendapat para ulama al-Azhar tentang kasus politik yang saat ini terjadi di Mesir, menurut hemat saya adalah bagian dari tamyiz din 'an daulah. Jadi tidak semua urusan politik lantas dikaitkan dengan Islam. Apalagi masalah kepentingan perebutan kekuasaan seperti ini, yang lantas mengatasnamakan agama untuk mendapat dukungan dan simpati, jelas keliru.

Jadi intinya, harus dibedakan antara KASUS dan KONSEP. Secara konsep, jelas Islam tidak terpisah dari negara dan politik. Tapi ini adalah kasus, yaitu kasus perebutan kekuasaan.

Ketiga, pengerucutan bahwa isu perjuangan syariat Islam hanyalah milik Ikhwanul Muslimin. Banyak dalih dan argumen yang dilontarkan pendukung Mursi untuk mencari simpati umat Islam. Salah satunya adalah dengan stigma bahwa Ikhwanul Muslimin digulingkan karena ingin menerapkan syariat Islam di Mesir. Dari stigma itu, umat Islam akan terkecoh sehingga menganggap bahwa perjuangan syariat Islam di Mesir hanyalah milik Ikhwanul Muslimin saja.

Stigma tersebut tentu tidak berdasar dan menimbulkan logical fallacy dalam pemikiran umat Islam. Sebab stigma bahwa hanya Ikhwanul Muslimin yang memperjuangkan syariat Islam di Mesir, stigma ini setidaknya sudah menafikan dan tidak menganggap peranan al-Azhar dan ulamanya, serta peranan kelompok Salafi. Selama ini, urusan syariat Islam di Mesir sangat dikawal ketat oleh al-Azhar. Al-Azhar dan kelompok Salafi juga turut menyetujui konstitusi berlandasakan syariat Islam yang sudah direferendum pada masa kepresidenan Mursi. Apalagi Salafi yang dengan ekstrem justru sangat memperjuangkan syariat Islam.

Jadi, stigma bahwa karena Ikhwanul Muslimin menjunjung tinggi syariat Islam lantas kekuasaan mereka digulingkan, secara tidak langsung mengatakan bahwa al-Azhar dan kelompok Salafi tidak melakukan hal itu.

Faktanya, ketika Presiden Mursi dikudeta, al-Azhar dan kelompok Salafi yang juga memperjuangkan syariat Islam juga turut menyetujui kudeta tersebut. Logikanya, seandainya Ikhwanul Muslimin digulingkan karena syariat Islam yang mereka terapkan, tentu al-Azhar dan kelompok Salafi tidak akan merestui kudeta tersebut.

Padahal seharusnya, semangat perjuangan syariat Islam haruslah milik semua umat Islam, apapun golongannya. Artinya, untuk memperjuangkan syariat Islam tidak harus masuk Ikhwanul Muslimin saja. Perjuangan ini masih bisa melalui jalur-jalur lainnya.

Keempat, pengerucutan isu bahwa perjuangan Palestina hanya milik Ikhwanul Muslimin. Selain isu perjuangan syariat Islam yang diangkat untuk mendulang simpati, isu tentang perjuangan Palestina juga diusung. Dianggap bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kelompok Islam yang dengan tegas dan keras memperjuangkan Palestina. Sehingga turunnya Mursi dari tampuk kekuasaan juga disebabkan itu. Maka bagi umat Islam yang ingin melihat Palestina merdeka, ayo dukung Ikhwanul Muslimin.

Stigma ini juga berbahaya bagi perjuangan Palestina itu sendiri. Nanti seolah-olah perjuangan Palestina hanya milik Ikhwanul Muslimin saja, seperti halnya stigma perjuangan khilafah Islamiah hanyalah milik Hizbut Tahrir saja. Padahal tidak demikian.

Tidak dapat dinafikan, banyak rakyat Gaza dan Palestina yang suka dengan kepemimpinan Mursi. Perbatasan Rafa juga dibuka. Namun tidak lupa pula bahwa di era Mursi jugalah hampir semua terowongan bawah tanah antara Gaza dan Mesir diberangus. Padahal itu adalah jantung utama segala pasokan untuk rakyat Gaza selama ini.

Perjuangan sesungguhnya bagi rakyat Palestina sejatinya tidak cukup hanya dengan membuka perbatasan Rafah. Kunci utama masalah Palestina sebenarnya ada pada perjanjian Camp David. Jika ingin benar-benar memperjuangkan Palestina, maka batalkan perjanjian perdamaian Mesir-Israel itu. Tapi nyatanya hal itu tidak dilakukan oleh Mursi saat berkuasa. Dalam sebuah video amatir, saya bahkan pernah melihat keakraban Mursi dan petinggi Ikhwanul Muslimin dengan Jimmy Carter (salah satu penandatangan perjanjian Camp David) di kantor Ikhwanul Muslimin. Ada apa dengan ini?!

Jika lantas stigma bahwa perjuangan Palestina ini hanyalah milik Ikhwanul Muslimin, hal ini juga menafikan kelompok lainnya yang juga dengan tegas memperjuangkan Palestina, salah satunya adalah al-Azhar. Apa kita tidak ingat bahwa Ismail Haniyah, pemimpin Gerakan Perlawanan Pelstina (Hamas), datang ke Mesir dan berpidato di atas mimbar masjid al-Azhar pada masa pemerintahan transisi Mesir pertama yang ketika itu masih dipegang militer, bukan di masa Mursi. Dan itu juga berkat al-Azhar sendiri.

Ketika itu Haniyah sangat yakin dan menggebu-gebu mengatakan bahwa kemerdekaan Palestina akan berawal dari mimbar al-Azhar tersebut, seperti halnya dulu Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan Palestina.

Apakah benar bahwa hanya Ikhwanul Muslimin saja yang memperjuangkan Palestina, dan rakyat Mesir lainnya tidak? 

Ada fakta yang mungkin terlihat aneh yang pernah saya alami. Ketika dulu saya kursus bahasa Turki, salah seorang teman saya orang Mesir bernama Hazim. Ketika itu menjelang pemilu legislatif di Mesir. Saya pun bertanya kepada Hazim tentang pendapatnya terhadap partai-partai Islam. Mungkin karena latarbelangkanya sebagai mahasiswa pariwisata dan sekaligus bekerja pemandu wisata di Museum Kairo, maka ia tidak mendukung partai Islam. Menurutnya, jika partai Islam berkuasa, nanti segala pariwisata yang berkaitan dengan peninggalan Mesir kuno dilarang karena dianggap sebagai berhala. Meski hal itu pada kenyataannya tidak terjadi.

Namun keanehan itu terjadi ketika saya menanyakan sikapnya tentang Camp David dan perang melawan Israel. Ia dengan menggebu-gebu dan panjang lebar mengatakan bahwa saya dan seluruh rakyat Mesir siap perang melawan Israel. Kita bisa lihat, tidak semua orang yang dianggap sekuler dan liberal di Mesir menyukai Israel. Jadi jelas soal anti Israel dan perjuangan Palestina tidak hanya milik Ikhwanul Muslimin saja.

Kelima, terlalu mudah menghukumi orang sebagai sekuler dan liberal. Di Mesir memang ada kelompok dan kubu sekuler dan liberal. Namun istilah ini ternyata menjadi semakin meluas dan mudah diucapkan. Rumusnya menjadi, setiap orang yang tidak mendukung perjuangan Ikhwanul Muslimin atau tidak sejalan dengan kelompok Islam adalah sekuler dan liberal. 

Bagi umat Islam di Indonesia yang sudah sangat melek dengan bahaya sekularisme dan liberalisme, stigma liberal dan sekuler ini lantas terlihat angker terdengar dan bahaya sekali. Padahal ada yang perlu kita garisbawahi di sini, bahwa orang-orang sekuler dan liberal di Mesir tidak sama dengan orang-orang sekuler dan liberal di Indonesia.

Orang-orang sekuler dan liberal di Indonesia memang sudah pada tarap dekonstruksi konsep-konsep agama Islam. Mereka menyerang usuluddin Islam. Maka dari itu, kelompok sekuler dan liberal di Indonesia sangat berbahaya sekali.

Sedangkan orang-orang sekuler dan liberal di Mesir, sependek pengamatan saya, tidak sampai seperti itu. Mereka tidak bakal menghantam apalagi mendekonstruksi Islam. Karena jika mereka melakukan hal itu, maka harus berhadapan dulu dengan ulama-ulama al-Azhar. Pemikiran liberal yang nyeleneh di Mesir seperti Nasr Hamid Abu Ziad yang mencoba medekonstruksi konsep al-Quran dengan hermeneutika, harus terpental dari Mesir. Soal agama Islam, al-Azhar sangat berperan dan gigih menjaganya. Jadi, orang sekuler dan liberal tidak bakalan mampu menggoyahkan konsep-konsep agama Islam.

Orang-orang sekuler dan liberal di Mesir, sejatinya yang saya pahami dari berbagai dialog dan wawancara dengan mereka, hanya menginginkan Mesir seperti Tukri. Mesir negara sekuler dalam artian agama Islam dan ajarannya tidak dilembagakan secara formal dalam bentuk konstitusi dan undang-undang.

Keenam, umat Islam masih ada yang kurang arif dan bijak dalam berbeda pendapat. Hal ini terlihat dari cacian dan makian yang dilontarkan terhadap para ulama dan al-Azhar yang mendukung kudeta. Saya pernah membaca status orang yang mengatakan bahwa lapangan bundaran Rabiah al-Adawiyah yang menjadi basis demonstrasi pendukung Mursi seharusnya menjadi contoh bagi peradaban Islam. Dalam batin saya mengatakan, penulis status itu lupa atau tidak tahu bahwa di tempat itu juga para ulama yang berseberangan pendapat dari mereka dihina dan dicaci.

Saya bahkan menyaksikannya secara langsung baik ketika berkunjung ke Rabiah al-Adawiyah pada demonstrasi pertama pendukung Ikhwanul Muslimin sekitar sepuluh hari sebelum tanggal demonstrasi anti Mursi pada tanggal 30 Juni 2013, maupaun mengamati lewat televisi yang disiarkan live oleh stasiun Aljazeera. Saya menyaksikan bagaimana Syaikh al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, direndahkan dan dilecehkan martabatnya.

Tidak hanya itu, beberapa hari lalu ketika melintas di sekitar Rabiah al-Adawiyah, banyak coretan-coretan tembok yang dibuat oleh pendukung Mursi. Isi coret-coretan tersebut intinya menghina Jendral al-Sisi dengan mengatakan dia sebagai pembunuh dan pengkhianat. Tapi sayangnya, di antara coretan itu juga, ada yang menulis, “yasquth baba al-Azhar”, “turun paus al-Azhar”.

Tidak hanya orang Mesir, orang lain, termasuk orang-orang Indonesia yang dengan fanatiknya mendukung Ikhwanul Muslimin, juga ada yang melakukan hal demikian. Mereka yang tidak memahami betul bagaimana sikap dan pendapat ulama, lantas dengan seenaknya mengatakan bahwa ulama itu adalah ulama syaitan, ulama suu, dan cacian lainnya.

Fakta ini menunjukkan bahwa umat Islam masih ada yang belum arif dan bijak dalam berbeda pendapat. Bahkan sikap mereka terhadap ulama yang seperti itu, menunjukkan bahwa umat Islam semakin jauh dari ulama-ulamanya. Na’udzubillah.

Lalu bagaimankah seharusnya kita bersikap terhadap Ikhwanul Muslimin?

Jawabannya sederhana. Kita tidak boleh antipati terhadap kondisi yang tengah dihadapi Ikhwanul Muslimin. Bahwa mereka didzalimi, banyak nyawa melayang dari kubu mereka, bahkan hingga dituduh teroris, itu semua merupakan keprihatinan kita. Ketika mereka menderita, tentu kita sebagai Muslim turut merasakannya. Intinya, selama mereka didzalimi, selama itu juga kita memberikan dukungannya.

Akan tetapi dalam ranah politik, tentu kita sebagai warga asing bagi Mesir, tidak bisa turut intervensi urusan politik dalam negeri. Sebatas mendukung perjuangan politik Ikhwanul Muslimin untuk merebut kembali kekuasaannya, mungkin masih dalam tarap yang wajar. Tapi harus dibedakan mana yang disebut dengan mendukung, mana yang disebut dengan intervensi atau campur tangan.

Dan yang paling perlu digarisbawahi adalah, Ikhwanul Muslimin itu walau bagaimanapun perjuangan mereka, tetaplah manusia yang bisa benar dan bisa salah. Jadi dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin semestinya sewajarnya saja. Jangan sampai pada tarap anggapan bahwa Ikhwanul Muslimin itu adalah malaikan yang tidak bisa salah. 

Jadi intinya, hendaklah kita bersikap adil dan proporsional dalam menanggapi kisruh politik Mesir yang saat ini terjadi. Kita perlu hati-hati dalam menyikapi setiap informasi yang beredar tentang kisruh ini. Karena di zaman fitnah, kebenaran akan terlihat berkolaborasi dengan kebatilan dan seakan susah dibedakan.

Begitulah sedikit pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kisruh politik yang terjadi di Mesir sekarang ini. Masih banyak sebenarnya pelajaran-pelajaran lainnya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisruh ini. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali.

Baca juga: Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir Bag. II

Senin, 19 Agustus 2013
Posted by Unknown
Tag :

Krisis Pemimpin Berkarakter dan Idealis

Tahun ini adalah tahun panas bagi Indonesia. Partai lagi panas bersaing tuk merebut simpati rakyat. Begitu juga rakyat, sebenarnya lagi panas dengan kelakuan para elit yang seakan mempermainkan perasaan mereka. Rakyat panas untuk mencari pemimpin baru dan mengganti yang lama.

Di tengah panasnya temperatur politik ini, sosok Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta, muncul dengan kesan aneh dan langka. Keanehan dan kelangkaan itu sebenarnya bukan ada pada diri Jokowi itu sendiri, melainkan ada pada para elit politisi, pejabat dan para pemimpin. Sederhananya, mental dan gaya kepemimpinan Jokowi sudah sekian lama absen, sehingga hal itu terlihat aneh. Keanehan inilah yang lantas membuat awak media luntang-lantung memburu Jokowi.

Di beberapa lembaga survei baru-baru ini, nama Jokowi lantas selalu menjadi nomor urut satu sebagai tokoh potensial calon presiden di Pilpres 2014. Jokowi mengalahkan nama-nama senior yang sudah lama bercokol sebagai elit dan petinggi politik. Padahal Jokowi tak lebih dari seorang bocah politik yang baru lahir. Bahkan ia sendiri pernah mengakui bahwa dirinya bukanlah seorang politisi.

Meski Jokowi sendiri belum tentu menjadi dan mampu menjalankan fungsi kepresidenan, namun paling tidak fenomena sosok dirinya sekarang ini adalah fakta bahwa rakyat butuh perubahan pemimpin dan gaya kepemimpinan. Maka inilah yang disebut dengan krisis kepemimpinan nasional.

Sejarah mencatat, Indonesia di masa Presiden Soekarno dikenal sebagai negara yang banyak menyumbangkan konsepsi kepada dunia internasional. Peranan Indonesia di kancah internasional sangat terlihat jelas. Pencitraan Indonesia di mata dunia sangat baik. Maka wajar hingga sekarang, rakyat Mesir masih banyak yang mengenal Soekarno, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kairo. 

Selanjutnya di masa Presiden Soeharto, Indonesia terlihat memiliki arah dan tujuan yang jelas. Presiden Soeharto memfokuskan pada pembangunan dalam negeri Indonesia. Buktinya adalah proyek Pembangunan Lima Tahun atau yang dikenal dengan Pelita yang dijalankan Soeharto. Selama rezimnya berkuasa, Soeharto telah melaksanakan program Pelita hingga yang ke-7.

Ini semua tentu terlepas dari kontroversi dan kekurangan dari dua pemimpin kita tersebut.

Jadi, jika kita amati dan simpulkan, tsunami krisis kepemimpinan ini sebenarnya baru muncul pascareformasi. Indonesia di tangan para pemimpin dan elit masa reformasi terlihat tidak terarah, kehilangan karakter kebangsaan dan semakin jauh dari idealismenya. Sebab utamanya adalah karena pemimpinnya juga kehilangan karakter dan idealisme itu. Karena, sejatinya pemimpin bangsa adalah pembangun karakter bangsa.

Mengutip dari pernyataan Pramoedya Ananta Toer, Indonesia negara yang begitu kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusianya sekarang menjadi negara pengemis, karena ulah pemimpinnya yang tidak memiliki karakter. 

Untuk mengembalikan karakter dan idealisme kepemimpinan ini, beberapa lantas ada yang mencerminkannya dengan karakter pemimpin-pemimpin di luar negeri. Kepada Jepang misalnya, yang ketika pemimpinnya berbuat salah langsung mengundurkan diri. Tidak salah memang. Tapi sebenarnya Indonesia sendiri bukan tidak memiliki contoh dan teladan pemimpin seperti itu. 

Dalam sejarahnya, Indonesia bukan tidak punya pemimpin seperti itu. Di era perjuangan kemerdekaan, tidak sedikit sosok pemimpin yang diagungkan seperti Jokowi ini, bahkan jauh melebihi Jokowi. Logikanya, jika tidak ada, rasanya tidak mungkin Indonesia akan merdeka. Sebab kemerdekaan ini, tentu saja salah satunya adalah buah dari para pemimpin yang memiliki jiwa dan mentalitas yang luar biasa terhadap rakyat dan negara ini.

Namun sayangnya, kita sering kali melupakan atau dilupakan akan sosok-sosok kepribadian para pemimpin kita terdahulu. Sejarah mereka hanya sebatas diajarkan di sekolah, dan kemudian lupa di masyarakat. Atau juga karena adanya suatu “permainan” yang dengan sengaja menjauhkan kita dari mereka.

Maka, jalan pintas yang mungkin dapat kita tempuh untuk melahirkan kembali pemimpin yang berkarakter dan idealis ini adalah dengan membuka kembali lembaran sejarah negarawan kita. Kita tengah membutuhkan sosok-sosok pribadi negawaran masa dulu yang bisa kita teladani. Ini sangat penting kita lakukan, terlebih tahun ini adalah tahun persiapan Pemilu 2014.  

Para pejabat ataupun elit politik yang ingin bersaing di tahun 2014 perlu meneladani para negarawan yang pernah dimiliki Indonesia. Begitu juga bagi rakyat, paling tidak bercermin kepada negarawan dan teladan terdahulu dalam memilih dan menentukan pemimpin mereka nanti. 

Imam al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkâm al-Sulthâniyyah mengatakan: “Jika di antara kedua pemimpin ada yang lebih pandai dan yang lebih berani, maka yang lebih berani didahulukan ketika negara sedang banyak mendapat gangguan dari pemberontak. Namun jika negara diliputi oleh orang-orang ahli bid’ah, maka yang pandai yang lebih didahulukan.”

Dari pernyataan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kebutuhan kita terhadap karakter pemimpin itu disesuaikan dengan kondisinya. 

Dalam kacamata penulis, karakter dan idealisme pemimpin yang kita butuhkan sekarang ini pada dasarnya sangat sederhana. Inti dari karakter dan idealisme itu adalah pejuang dan perjuangan, mengingat kondisi negara kita sekarang yang masih berstatus negara berkembang, banyak dilanda berbagai krisis, hingga terpuruknya moral. 

Maka wajar saja sebenarnya, di tahun 1988 di bawah rezim Orde Baru, Menteri Penerangan, Harmoko, mengeluarkan larangan menyanyikan lagu-lagu cengeng. Lagu cengeng dianggap bisa menghambat laju program pembangunan Indonesia yang tengah dimotori oleh Soeharto. Karena mentalitas dan karakter cengeng jauh berseberangan dengan karakter pejuang.

Karakter dan idealisme perjuangan ini yang sekarang hilang. Bukan berarti pemimpin sekarang tidak ada perjuangan, namun terkadang di tengah perjuangan itu diselipkan atau kalah oleh kepentingan-kepentingan lainnya. Sehingga banyak kepentingan rakyat dan bangsa yang terabaikan.

Jika pemimpin memiliki karakter ini, seharusnya secara otomatis akan melahirkan energi positif lainnya, dari segi etos kerja hingga kepribadiannya. Seorang pejuang mestinya pekerja keras, menghasilkan kerja nyata, berani mengambil keputusan, tegas, tanpa pamrih, di samping juga berkepribadian yang sederhana dan bersahaja. Karena tidak mungkin seorang pejuang yang tengah berjuang bisa duduk santai dan menikmati kemewahan.

Alakhir, sesungguhnya karakter dan idealisme seperti ini tidak cukup dimiliki pemimpin seorang diri saja. Melainkan juga harus disalurkan kepada anak buah hingga seluruh rakyatnya. Dengan demikian terbentuklah karakter bangsa yang utuh, yang berawal dari karakter sang pemimpinnya. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali
Jumat, 02 Agustus 2013
Posted by Unknown
Tag :

Pendukung Mursy Sebelum 30 Juni 2013

Dari jarak lebih dari lima ratusan meter, nenek tua didampingi oleh dua orang anaknya berjalan cukup cepat. Mereka bertiga menggunakan pakaian abaya hitam. Tujuannya adalah lapangan Masjid Rabiah Adawiyah, Nasr City, Kairo. 

Bukan hanya satu nenek tua itu saja yang turut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi bertajuk Jutaan Umat Melindungi Revolusi ini. Jutaan orang berkumpul sejak shalat Jumat. Hingga selepas Asar dan bahkan menjelang Magrib masih ada yang datang untuk bergabung.

Jika dilihat dari kamera orang yang mangambil gambar dari menara Masjid Rabiah Adawiyah, bundaran kawasan Rab’ah yang berdekatan dengan Kementerian Pertahanan Mesir ini seperti kumpulan kawanan semut. Di depan Masjid didirikan panggung yang tidak terlalu besar untuk berorasi.

Radius seratus meter dari pusat kerumunan orang, jalan dipagari dengan pagar besi layaknya berfungsi seperti pintu masuk yang dijaga oleh beberapa orang. Setiap orang yang ingin masuk kawasan utama demonstrasi diminta memperlihatkan tanda pengenal atau kartu tanda penduduk.

Banyak hal yang dilakukan demonstran. Ada yang berkumpul duduk-duduk santai di trotoar jalan. Ada yang berkeliling membawa bendera, membawa poster Presiden Mursy, spanduk dengan berbagai macam tulisan, dan lain sebagainya. Ada juga yang membagikan air minum gratis dari atas sebuah mobil pick up. Selain itu ada juga yang memanfaatkan momen ini untuk berjualan.

Dari sebuah mobil yang mengangkut sound sistem, seorang anak kecil yang duduk di atas pundak seorang muda menyampaikan orasi kecilnya. Orasinya berbentuk seperti syair yang mengagung-agungkan sosok seorang Shalahuddin al-Ayyubi yang melalui Mesir dapat membebaskan tanah Palestina. Di ujung orasinya ia pun berteriak, “Kullina Shalahuddin!” Kita semua adalah Shalahuddin. Teriakan inipun diikuti oleh orang-orang yang bergerumul di sekitarnya.

Semakin dekat dengan panggung utama dan bundaran Masjid Rabiah Adawiyah, kerumunan orang semakin padat dan sesak. Tidak hanya bendera Mesir, poster Presiden Mursy, ataupun atribut yang berkenaan dengan Ikhwanul Muslimin dan Partai Kebebasan dan Keadilan yang diusung. Beberapa bendera dan atribut kelompok lainnya juga turut diusung. 

Di bawah berdera Partai Wasith, seseorang mengatakan, “Kami semua pendukung Mursy. Ia adalah presiden yang sah secara konstitusi dan melalui pemilihan umum. Presiden Mursy adalah orang Islam yang taat, bahkan hafal al-Quran.”

“Aksi demonstrasi 30 Juni mendatang adalah milik orang-orang liberal dan sekuler yang menginginkan Mesir tanpa agama,” tegasnya lebih ketika ditanya pendapatnya tentang rencana oposisi untuk menggulingkan Mursy pada 30 Juni 2013.

Di panggung utama, tokoh demi tokoh secara bergantian menyampaikan orasi yang intinya adalah mendukung Presiden Mursy. Bahkan salah seorang orator dengan lantang melayangkan kritik pedasnya terhadap Grand Syaikh al-Azhar, Ahmad Thayyib yang disebutnya telah mengeluarkan fatwa batil, yaitu memperbolehkan melakukan aksi demonstrasi menentang Presiden. Fatwa Syaikh al-Azhar ini dinilainya telah mendukung oposisi untuk menggulingkan Presiden Mursy.

Aksi demonstrasi ini tidak hanya diwarnai dengan orasi dan teriakan-teriakan mendukung Presiden Mursy, melainkan juga diisi dengan kegiatan lainnya. Misalnya, Egyptian Co Operation and Relief Foundation membuka pos penggalangan dana untuk korban konflik Suriah. 

Ada juga beberapa orang yang berkeliling membawa blangko nama guna mengumpulkan tanda tangan mendukung Presiden Mursy. Setiap orang yang ingin memberikan tanda tangannya diharuskan menunjukkan kartu tanda penduduk dan menuliskan nomor KTP-nya itu di samping tanda tangannya.
“Ayo dukung Presiden Mursy dan bubuhkan tanda tangan Anda!” seru orang tua mengajak setiap orang yang melewatinya.

Selain itu, ada juga yang membagikan selebaran fotocopy yang isinya menentang gerakan Pemberontakan yang dimotori oleh kubu oposisi sejak beberapa hari lalu. Gerakan Pemberontakan ini juga menyebarkan selebaran dan mengumpulkan tanda tangan orang-orang yang mendukung penggulingan Presiden Mursy.

Aksi Jutaan Umat Melindungi Revolusi yang dimotori oleh Ikhwanul Muslimin dan diikuti oleh lebih dari 30 kelompok Islam, partai dan koalisi, serta gerakan revolusioner ini terus berlangsung hingga malam hari. Sampai selepas waktu Isa, jutaan pendukung Presiden Mursy ini masih belum beranjak dari lapangan Masjid Rabiah Adawiyah.

Posted by Unknown
Tag :

Gerakan Pemuda dan Peradaban Indonesia

Sudah menjadi maklumat bersama bahwa peranan pemuda dalam pembangunan bangsa atau bahkan peradaban sekalipun, bukan hal yang terelakkan lagi. Pemuda memiliki kekuatan tersendiri yang tidak dimiliki generasi lainnya. Bukan hanya sebagai generasi penerus tongkat estafet perjalanan bangsa, bahkan lebih dari itu pemuda sudah memiliki tanggung jawab tersendiri terhadap kemajuan bangsa ini. Artinya, pemuda tidak perlu menunggu kapan tongkat estafet itu dikasihkan.

Sejarah telah banyak mencatat mengenai hal ini. Sebut saja cerita yang diabadikan oleh Allah dalam al-Quran tentang pemuda Ashabul Kahfi yang dengan gigih mempertahankan keimanannya. Perjuangan mereka sungguh mahal harganya. Untuk mempertahankan keyakinan tersebut, mereka harus berhadapan dengan penguasa yang terkenal dengan kedzalimannya ketika itu. Atau simbol-simbol kepemudaan yang dilambangkan oleh gerakan Sumpah Pemuda 1928 dan para pejuang kemerdekaan terdahulu. Sebutlah tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan lain sebagainnya.

Semua itu mencerminkan bahwa peranan pemuda memang sangat besar sekali dalam bangsa ini. Mereka tidak menunggu tongkat estafet itu dikasihkan, atau hanya menunggu bola saja. Mereka bergerak berdasarkan nurani dan jiwa kepemudaan mereka sendiri.

Sekarang di tengah putaran roda pembangunan bangsa ini, ruh pemuda seperti itu sangat dibutuhkan kembali. Pergerakan-pergerakan pemuda untuk membangun bangsa ini sangat dinantikan. Namun bukan berarti gerakan pemuda Indonesia sekarang mengalami kebekuan. Tentu saja masih ada kelompok-kelompok pemuda yang mau bergerak. Akan tetapi pergerakan yang diharapkan itu adalah pergerakan yang lebih cerdas dan bermartabat. 

Pergerakan yang cerdas dan bermartabat itu mungkin tidak termasuk di dalamnya kategori seperti demonstrasi dan turun ke jalan, hingga mengganggu ketertiban umum. Pergerakan yang cerdas dan bermartabat adalah pergerakan yang menjunjung tinggi intelektualitas dan moralitas. Pergerakan seperti inilah yang sangat pantas untuk dilakukan oleh para pemuda sekarang ini.

Bentuk kongkrit dari gerakan yang cerdas dan bermartabat itu akan tergambar jelas ketika kita menganologikannya dengan proses terbentuknya suatu peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, maju mundurnya suatu peradaban tergantung pada ilmu pengetahuan. Salah satu tanda dari wujudnya peradaban itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran, dan lain sebagainya.

Namun ada satu faktor terpenting lagi selain ilmu pengetahuan yang tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur peradaban, yaitu agama atau kepercayaan. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber utama dari peradaban. Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syaikh Muhammad Abduh ternyata juga menekankan pentingnya membangun mental sprititual yang kuat sebagai landasan atas peradaban.

Dua unsur pembentuk peradaban ini harus selalu dipadukan dan posisikan secara balance. Keduanya tidak akan hidup tanpa adanya orang-orang atau komunitas yang selalu konsisten untuk mengembangkannya. Komunitas yang ada di Madinah, Cordova, Baghdad, dan Kairo pada masa kejayaan Islam adalah sebagian kecil dari contoh orang-orang yang mau konsisten dengan ilmu pengetahuan, tanpa mengesampingkan mental spiritual.

Untuk membentuk itu semua tentunya membutuhkan suatu proses yang tidak sebentar. Dibutuhkan suatu tradisi intelektual yang kuat hingga akhirnya mencetak masyarakat yang tidak tabu dengan ilmu pengetahuan dan agama.

Bercermin dari Islam, secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dengan pemahaman terhadap al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, secara berturut-turut dari periode Makkah sampai periode Madinah. Mengapa demikian, karena di dalam al-Quran sendiri sudah terdapat konsep ilmu yang bersifat umum. Inilah yang menjadi cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam selanjutnya.

Satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah medium transformasi ilmu itu sendiri. Tercatat juga dalam sejarah, bahwa tradisi intelektual yang ada dalam Islam itu ternyata dikembangkan melalui institusi pendidikan yang disebut dengan  As-Suffah. Di lembaga pendidikan Islam pertama inilah pesan-pesan yang disampaikan dalam wahyu dan hadits-hadits dikaji dan dipelajari secara efektif. Terbukti, lagi-lagi kita menemukan adanya komunitas yang mengembangkannya.

Mungkin kita bisa bayangkan, dari komunitas yang kecil itu saja dampaknya sangat dahsyat bisa membangun peradaban Islam seperti sekarang ini. Lalu bagaimana kalau pekerjaan yang dilakukan komunitas seperti itu, dijalankan oleh komunitas yang lebih besar lagi, yaitu komunitas pemuda Indonesia. Maka tidak menutup kemungkinan jika Indonesia ini nantinya berkembang tidak hanya sebagai bangsa atau negara saja, melainkan sebagai peradaban.

Sudah saatnya generasi muda sekarang membentuk gerakan-gerakan intelektual yang menjunjung tinggi moral. Gerakan intelektual lebih kongkrit daripada gerakan-gerakan yang hanya sekedar berdemonstrasi saja. Mengubah bangsa ini tidak bisa hanya dengan turun ke jalan. Gerakan pemuda sekarang harus bisa memasuki dunia informasi dan birokrasi. Jadi, kemampuan intelektual yang ada pada pemuda harus digunakan sebaik-baiknya, dan dikemas dalam bungkusan moralitas yang bermartabat demi kemajuan bangsa. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali
Jumat, 21 Juni 2013
Posted by Unknown
Tag :

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -