Archive for Mei 2013
Kiblat Perguruan Tinggi Islam Adalah Timur Tengah
Perguruan tinggi Islam, baik UIN atau IAIN memiliki peranan besar dalam tubuh umat Islam di negara kita. Dari sejak berdirinya, tentu sudah banyak pendidik dan pengemban dakwah Islam yang dilahirkan dari perguran tinggi Islam tersebut. Bahkan lembaga ini juga bisa dibilang menjadi tempat kepercayaan masyarakat untuk meneruskan jenjang pendidikan agama secara formal.
Selayaknya sebuah perguruan tinggi, UIN atau IAIN tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat berkembang dan meningkatkan kualitas, perguruan tinggi Islam ini memang harus bekerjasama dan membuka jaringan dengan lembaga pendidikan lainnya. Baik itu lembaga pendidikan yang ada di dalam negeri itu sendiri, atau pun yang ada di luar negeri.
Pada awalnya, perguruan tinggi Islam di Indonesia memang memiliki hubungan erat dengan perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah. Namun ketika Harun Nasution menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kiblat perguruan tinggi Islam itu mulai berubah ke Barat. Sekitar tahun 70an itulah IAIN gencar mengirimkan lulusan ataupun dosen-dosennya ke Barat untuk memperdalam agama Islam.
Kondisi itu sepertinya terus berlangsung hingga sekarang. Akhirnya, para dosen di perguruan tinggi Islam tersebut lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Arab. Padahal agama Islam seharusnya diperdalam dengan menggunakan bahasa Arab, mengingat bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Kurangnya penguasaan para dosen di perguruan tinggi Islam ini tentu saja berdampak negatif. Salah satu dampaknya adalah terhadap kelangsungan kerjasama perguruan tinggi Islam di Indonesia dengan perguruan-perguruan tinggi Islam di Timur Tengah.
Sebagai contoh, perkumpulan Liga Universitas Islam Internasional batal diadakan di UIN/IAIN karena kurang baiknya komunikasi bahasa Arab para dosen dalam negeri dengan para dosen yang datang dari Timur Tengah. Alhasil, tempat pelaksanaanya dipindahkan di Pondok Modern Darussalam Gontor, dan Liga Universitas Islam lebih mempercayai Institus Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor sebagai rekan kerja sama daripada UIN atau IAIN.
Dampak negatif lainnya adalah kepada pemahaman para dosen itu sendiri terhadap ajaran Islam. Karena pada dasarnya memang ajaran Islam itu harus diperdalam dengan dan melalui bahasa Arab. Walau bagaimanapun sumber awal agama Islam ada di Timur Tengah, dimana masyarakatnya berbahasa Arab. Bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari agama Islam, apalagi untuk mempelajarinya lebih dalam.
Contohnya terlihat pada beberapa dosen dan bahkan guru besar di sebuah universitas Islam di Indonesia berkunjung ke Mesir. Di antara mereka yang berkunjung ada yang lantas mengadakan seminar atau diskusi umum tentang tema-tema keagamaan dengan para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al-Azhar.
Salah satu diskusi yang pernah diadakan adalah tentang buku salah satu dosen IAIN yang mengkritik keshahihan hadits-hadits dalam Shahih Bukhari. Dalam diskusi itu, ternyata argumen-argumen yang digunakan dosen yang mengkritik hadits di dalam kitab Shahih Bukhari tersebut sangat lemah dan mudah dipatahkan oleh mahasiswa. Dari argumen-argumen itu tersebut akhirnya mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa pondasi pemahaman agama dosen tersebut masih sangat lemah. Ironisnya, dosen tersebut padahal sudah bergelar profesor dan guru besar di sebuah IAIN.
Dampak negatif lainnya lagi adalah menjamurnya virus pemikiran-pemikiran liberal di tengah mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia. Misalnya, tidak sedikit mahasiswa yang diajarkan mengkritik para ulama sebelum tahu ilmunya terlebih dahulu. Tidak sedikit pula mahasiswa menjadi liberal ketika masuk ke perguruan tinggi Islam, daripada sebelumnya. Padahal para mahasiswa inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan dakwah Islam.
Itu hanya beberapa dari dampak negatif yang ditimbulkan dari berubahnya kiblat perguruan tinggi Islam di negara kita dari Timur Tengah ke Barat. Di satu sisi memang penulis akui bahwa perguruan tinggi Barat memiliki kelebihan dibandingkan dengan Timur Tengah. Namun kelebihan yang dimiliki Barat tersebut bukanlah hal yang substansial dalam pembelajaran ajaran Islam, yang mengharuskan berpindahnya kiblat pendidikan Islam kita ke sana.
Timur Tengah yang menjadi basis utama bahasa Arab, dan juga tempat lahirnya para ulama besar yang mengajarkan Islam sudah sepantasnya dijadikan kiblat kembali oleh perguruan tinggi Islam kita. Namun ini bukan berarti membatasi belajar agama Islam harus di Timur Tengah. Islam adalah agama yang universal dan cocok di tempat mana saja. Artinya Islam juga bisa dipelajari di mana saja.
Akan tetapi maksud penulis di sini hanyalah menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai alat untuk memperdalam ajaran Islam, yang mana sumber bahasa Arab itu ada di Timur Tengah. Secara logika, artinya memperdalam Islam sedikit banyaknya tidak dapat lepas dari dunia Timur Tengah. Jadi, perguruan tinggi Islam yang menjadi wadah untuk memperdalam ajaran Islam itu juga selogisnya memiliki hubungan erat dan berkiblat ke Timur Tengah, bukan ke Barat.
Ada lagi faktor yang lebih besar dari sekedar faktor bahasa Arab tersebut, yaitu faktor pembelajaran agama Islam itu sendiri. Tidak semua ilmu dalam ajaran Islam dapat dipelajari dengan otodidak atau tanpa guru, karena menuntut bimbingan pemahaman dari seorang guru. Belum lagi tradisi sanad yang tidak dapat diindahkan dalam mempelajari Islam. Dan hal ini semua kebanyakan hanya dapat ditemukan di Timur Tengah yang banyak menyimpan ulama.
Harapan dan kepercayaan masyarakat Islam di Indonesia kepada perguruan tinggi Islam selama ini begitu besar. Perguruan tinggi Islam tidak lagi dipandang sebelah mata, dan juga bukan lembaga pendidikan tinggi alternatif. Jasa perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat besar sekali. Sekarang, bagaimana perguruan tinggi Islam ini dapat mempertahankan statusnya tersebut. Bukan malah sebaliknya, perguruan tinggi Islam tapi dituding merusak Islam dari dalam. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali
Daulah Diniyah Versus Daulah Islamiyah
Pada hari Rabu, 14 Desember 2012, saya menghadiri sebuah seminar ilmiah yang diadakan oleh Klub Perhimpunan Mahasiswa Asing di Mesir, yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Mesir. Tema acara tersebut adalah tentang “Hijrah Rasulullah SAW”. Pembicaranya adalah Dr. Thoha Abu Krisyah, mantan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Kairo.
Seperti biasa, seminar rutin bulanan ini dimulai selepas waktu Magrib. Acara yang dikhususkan untuk mahasiswa asing ini digelar di kantor sekretariat yang sangat sederhana dan tidak terlalu besar. Mungkin tidak banyak juga mahasiswa asing yang tahu tentang agenda-agenda Klub Perhimpunan Mahasiswa Asing ini, sehingga yang datang pun dapat dibilang sangat sedikit sekali. Kira-kira tidak sampai 50 orang. Padahal acara seperti ini sangat penting dan berharga sekali. Apalagi pembicaraan yang dihadirkan biasanya bukan orang sembarangan.
Tema yang diberikan oleh pengurus memang tentang “Hijrah Rasulullah SAW”. Akan tetapi Dr. Thoha Abu Krisyah juga banyak berbicara tentang revolusi Mesir, karena memang nuansa revolusi masih sangat kental sekali di tengah masyarakat Mesir. Revolusi Mesir masih berlangsung hingga tujuan revolusi tercapai. Kira-kira seperti itu.
Pasca runtuhnya rezim Husni Mubarak, isu tentang masa depan bentuk pemerintahan Mesir ini secara spontan langsung muncul. Banyak orang yang bertanya-tanya tentang pemegang kekuasaan selanjutnya setelah Mubarak. Apa yang dilakukan penguasa baru nanti terhadap negara Mesir. Akankah Mesir yang kini negara republik dirubah menjadi negara agama (Daulah Diniyah)?
Beberapa hari menjelang pemilu parlemen, stasiun televisi BBC Arabic telah mengangkat isu bahwa rakyat Mesir tengah dihadapkan dengan dua pilihan, apakah Mesir akan menjadi Daulah Diniyah atau Daulah Madaniyah? Isu ini diangkat dengan menayangkan wawancara dari beberapa orang rakyat sipil yang dimintai pendapat mereka tentang Daulah Diniyah dan Daulah Madaniyah.
Mengenai isu ini, saya tertarik dengan pernyataan Dr. Thoha Abu Krisyah yang mengatakan bahwa istilah “Daulah Diniyah” dan “Daulah Madaniyah” adalah istilah yang dikembangkan oleh musuh-musuh Islam untuk membingungkan dan memecahbelah umat.
Menurut Dr. Thoha, istilah tersebut tidak ada dalam sejarah pemikiran Islam. Istilah itu berasal dari Barat, dan dimaksudkan untuk membingungkan umat Islam.
“Yang ada hanyalah Daulah Islamiyah. Istilah daulah diniyah tidak ada dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah,” tegas Dr. Thoha.
Perang pemikiran dan istilah ternyata memang masih belum usai. Istilah-istilah plesetan yang entah dari mana asalnya cepat sekali bermunculan. Apalagi jika istilah itu dikaitkan dengan suatu peristiwa.
Pengertian Daulah Islam dengan Daulah Diniyah memang jauh berbeda. Daulah Islam dibangun di atas dasar ajaran Islam yang cocok di setiap tempat, bagi setiap orang, dan di setiap waktu. Hal ini karena tujuan ajaran Islam itu ada tidak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Sementara istilah Daulah Diniyah sebenarnya merujuk kepada negara-negara Barat di abad Kegelapan ketika berada di bawah kukungan gereja. Para pendeta bertindak semena-mena atas nama agama dan wakil tuhan. Kekuasaan tertinggi dalam negara akhirnya bukan pada agama atau tuhan itu sendiri, melainkan pada mereka yang mengaku diri sebagai orang yang paling berhak menginterpretasikan wahyu tuhan. Sementara yang lainnya tidak berhak. Lembaga magisterium adalah bukti keangkuhan agamawan Katolik saat itu.
Selanjutnya Dr. Thoha mengatakan bahwa revolusi dunia Arab yang sekarang tengah terjadi ini dapat dikatakan hijrahnya umat Islam, jika revolusi ini membawa kebaikan dan kemaslahatan umat. Beliau juga sepakat dengan analisa yang mengatakan bahwa revolusi di dunia Arab ini adalah awal dari kebangkitan Islam. “Pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang baik,” tuturnya.
Mengenai masa depan Mesir apakah akan menjadi negara Islam, Dr. Thoha menjawab,”Saya tidak tahu. Tapi yang jelas Mesir bukanlah negara kafir.”
Seusai acara, saya menyempatkan diri untuk bertanya kepada beliau seraya ingin berjabat tangan. Saya menanyakan tentang isu yang selama ini digulingkan oleh kelompok sekuler di Mesir yang takut jika kekuatan Islam berkuasa di pemerintahan. Kubu sekuler ini melontarkan ketakutan-ketakutan yang cenderung didramatisir guna menghalangi kekuatan Islam dalam Pemilu. Misalnya isu seperti, jika kelompok Islamis berkuasa, maka pariwisata di Mesir akan berkurang, patung-patung simbol kekufuran Mesir Kuno diharamkan, dst. Namun ternyata dengan tegas Dr. Thoha mengatakan bahwa ketakutan itu tidak akan terjadi.[]