Posted by : Unknown Selasa, 20 Agustus 2013

Kudeta di Mesir terhadap presiden terpilih secara demokratis pada tanggal 3 Juli 2013 lalu sentak menjadi perhatian seluruh dunia. Pro kontra tentang kudeta tersebut pun lantas menghiasi wacana berpikir setiap orang yang mengikuti beritanya. Pertikaian opini dan argument tentu tidak dapat terelakkan lagi. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik dari kisruh kudeta ini.

Pada catatan Pelajaran Penting dari Kudeta Mesir bagian pertama saya membahas soal provokasi dan propaganda yang dilakukan oleh pendukung Presiden Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin. Propaganda tersebut menjadi penting untuk dibahas, karena jika dibiarkan berkeliaran, bisa bermutasi menjadi politisasi agama. Alias “menjual” simbol-simbol agama demi kekuasaan politik. Karena kisruh dan konflik yang terjadi di Mesir pada dasarnya adalah perkara politik, bukan perkara agama. Pasalnya jika disebut konflik ini adalah perkara agama, lantas siapa yang musuh dan siapa yang kawan? Apakah umat Islam sudah saling bermusuhan?

Kali ini saya berusaha membahas propaganda dan provokasi dari kubu sebelah, yaitu kubu pro kudeta. Karena pada realitanya yang terjadi di Mesir saat ini adalah perang propaganda yang dilancarkan berbagai media massa. Media yang pro Mursi melancarkan propagandanya sendiri, dan media yang pro kudeta pun demikian. Masing-masing memiliki propaganda. Sehingga tidak adil jika propaganda yang kita kritik hanya propaganda dari kubu pro Mursi saja.

Ada beberapa poin dari propaganda pro kudeta yang saya perhatikan. Propaganda ini bahkan sudah ada sejak sebelum kudeta. 

Pertama, stigma Ikhwanisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Mursi. Titik tolak stigma ini bisa kita amati sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden Mursi pada bulan November 2012 silam. Dengan Dekrit itu, Mursi kemudian dinilai telah menerapkan diktatorisme model baru di Mesir pasca revolusi. Pasalnya, tujuan utama Dekrit tersebut diselewengkan menjadi ambisi kekuasaan yang tak terbatas.

Padahal maksud utama dari Dekrit tersebut adalah untuk melindungi konstitusi. Parlemen yang terpilih secara demokrasi melalui Pemilu legislatif telah dibubarkan oleh Dewan Militer. Alasannya, Pemilu legislatif yang telah dilakukan tersebut telah melanggar konstitusi. Dengan dibubarkannya Parlemen yang mayoritas dikuasai oleh kelomok Islamis tersebut, terang saja menjadi ancaman terhadap konstitusi Mesir yang baru.

Melalui Dekrit tersebut, Presiden Mursi kemudian membentuk suatu Komite Konstituante yang bertugas untuk merancang konstitusi. Selanjutnya untuk memastikan rancangan konstitusi tersebut diterima oleh rakyat atau tidak, Presiden Mursi memutuskan untuk menggelar referendum. Dalam referendum ini, kekuatan politik Ikhwanul Muslimin sekali lagi terbukti, setelah sebelumnya memenangkan Pemilu legislatif dan presiden sekaligus. Hasilnya, 63,83% atau 10.693.911 suara menyatakan setuju terhadap rancangan konstitusi tersebut. Sementara 36,17% atau 6.061.011 suara saja yang menolaknya. Jumlah partisipasi referendum seluruhnya sebanyak 17.058.317 pemilih.

Indikasi lain dari wacana Ikhwanisasi yang dituduhkan terhadap pemerintahan Presiden Mursi adalah anggapan bahwa Mursi tidak mau membagi kekuasaannya. Padahal awal-awal terpilihnya Mursi, saya mendengar wacana bahwa Mursi akan mengangkat wakil presiden dari tiga golongan, yaitu perempuan, Kristen Koptik dan Islam. Calon Perdana Menteri pun digayang-gayang ketika itu akan jatuh di tangan Muhammad Elbaradei. Namun entah kenapa rencana Mursi tersebut ternyata tidak terlaksana.

Kedua, penilaian sepihak dan tidak berimbang terhadap kinerja Presiden Mursi. Hasil-hasil positif yang diraih oleh pemerintahan Mursi seperti stabilitas ekonomi dan peningkatan pedapatan negara melalui Terusan Suez ataupun pariwisata, diabaikan begitu saja. Sementara segala kegagalan pemerintahan Presiden Mursi diekspos secara berlebihan. Stigma yang muncul kemudian, bahwa pemerintahan Presiden Mursi telah gagal dalam menjalankan pemerintahan.

Tidak hanya itu, gangguan yang bertubi-tubi terhadap pemerintah Mursi terus-menerus dilancarkan dari kubu sekuler-liberal maupun loyalis rezim Husni Mubarak yang masih bercokol di beberapa pos penting. Fakta nyata adalah berbagai sabotase yang dilakukan terhadap fasilitas publik, seperti seringnya pemadaman listrik, kekosongan bahan bakar, maupun aliran air yang tidak lancar. Bukti bahwa itu semua sabotase adalah, pasca turunnya Presiden Mursi, semua krisis fasilitas publik tersebut hilang dengan sekejap.

Dengan kondisi ini semua, beberapa orang Mesir yang saya tanyai tentang kinerja pemerintahan Mursi lantas begumam, “Masa Mubarak lebih baik dari masa Mursi sekarang.”

Dapat dibayangkan, satu tahun pemerintahan Mursi itu penuh dengan berbagai tuntutan dari rakyat untuk memperbaiki kondisi dalam negeri. Waktu satu tahun tentu tidaklah cukup untuk menyelesaikan segala permasalahan Mesir.

Ketiga, kekompakan media massa untuk menyudutkan Presiden Mursi. Media-media nasional Mesir, berkolaborasi dengan Gerakan Tamarud dan Front Penyelamatan Nasional, bersama-sama mengeroyok Presiden Mursi. Isu-isu yang sudah terbangun sebelumnya, semakin digencarkan lagi melalui berbagai media massa. Bahkan rencana demonstrasi massal menuntut turunnya Mursi pada tanggal 30 Juni 2013 secara terang-terangan diiklankan di berbagai televisi nasional Mesir ataupun televisi swasta yang disinyalir milik kubu sekuler.

Keempat, adanya peranan Amerika Serikat terhadap propaganda media untuk menyudutkan pemerintah Mursi. Pada tanggal 12 Juli 2013, Aljazeera merilis laporan yang mengatakan bahwa puluhan dokumen pemerintah Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa Washington telah mendanai politisi oposisi yang menyerukan penggulingan Presiden Mursi. Dana tersebut disalurkan melalui program Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dalam rangka promosi demokrasi di Timur Tengah.

Di antara saluran dana dari Amerika tersebut masuk ke Front Penyelamatan Nasional, orang-orang Kristen Koptik yang berada di luar negeri, dan anggota oposisi lainnya. Laporan ini juga diperjelas dengan menunjukkan nama dan dokumen dalam jumlah besar yang diperoleh oleh penentang Mursi untuk dapat memobilisasi opini publik melalui media, situs jejaring sosial dan lainnya.

Kelima, fenomena pembakaran gereja dan beberapa fasilitas negara yang selanjutnya dituduhkan kepada Ikhwanul Muslimin sebagai pelakunya. Meski secara jujur saya masih tidak berani memastikan siapa sebenarnya dalang di balik semua itu, namun secara logika hal tersebut masih menyisakan ruang kritis. Penemuan berbagai senjata api, peluru dan bom molotov di Rabiah Adawiyah pasca penggusuran demonstran juga masih dapat dikritisi. Intinya, segala konspirasi dan manipulasi mungkin saja dilakukan guna menyudutkan Ikhwanul Muslimin. 

Alasan inilah yang dipakai untuk menggunakan kekerasan terhadap demonstran pro Mursi. Pembantaian yang terjadi terhadap demonstran pro Mursi ini setidaknya semakin mempersempit upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh al-Azhar dan pihak lainnya dari kubu Darul Hikmah.

Keenam, penyematan gelar “teroris” yang begitu cepat terhadap Ikhwanul Muslimin. Menurut saya ini hal teraneh yang pernah saya temukan di Mesir. Memang tidak menutup kemungkinan ada dari kelompok Ikhwanul Muslimin yang berasal dari golongan ekstrimis yang bisa saja mempersenjatai diri mereka. Akan tetapi yang jelas tidak dapat diterima akal sehat adalah generalisir sematan tersebut. Sehingga hasilnya, seluruh anggota Ikhwanul Muslimin adalah teroris. Padahal di dalam tubuh organisasi ini juga ada ulama-ulama al-Azhar. 

Penyematan gelar “teroris” ini sesungguhnya sudah masuk pada tarap deikhwanisasi. Ikhwanul Muslimin sepertinya ingin benar-benar dilenyapkan dari bumi Mesir. Padahal al-Azhar sudah berkali-kali memperingatkan militer dan pemerintah interim untuk membekaskan para petinggi Ikhwanul Muslimin, dengan alasan persamaan hak dalam partisipasi politik bagi seluruh rakyat Mesir.

Terkait dengan penanganan demonstran, al-Azhar sudah memberikan penjelasan dan himbauan kepada keamanan dan militer Mesir agar dapat membedakan antara demonstran yang rusuh dan bersenjata dengan demonstran yang damai.

Lantas perlukan membenci dan bersikap anti terhadap militer Mesir?

Sejauh tindakan militer tersebut di luar batas kemanusiaan, maka tentu kita tidak bisa menerimanya. Siapapun akan bersalah dan disalahkan jika membunuh orang tanpa sebab yang syar’i, apalagi sesama Muslim. Jangankan darah seorang Muslim, darah orang kafir pun haram selama mereka tidak mememerangi kita.

Militer memang bisa salah dan berbuat ceroboh. Akan tetapi yang perlu kita garisbawahi adalah, tidak serta merta karena kesalahannya itu kita lantas membeci dan anti militer secara frontal. Walau bagaimanapun, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusri Jabir, militer Mesir adalah orang yang paling terdepan jika berperang melawan Yahudi Israel. 

Masih banyak tentunya pelajaran yang bisa diambil dari kisruh politik Mesir ini. Intinya adalah, setiap kubu di sini memiliki propagandanya masing-masing. Simpang siur berita dan infromasi pun kerap terjadi. Inilah yang disebut dengan zaman fitnah. Jadi kita harus selalu waspada dan hati-hati. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -