Posted by : Unknown Jumat, 02 Agustus 2013

Tahun ini adalah tahun panas bagi Indonesia. Partai lagi panas bersaing tuk merebut simpati rakyat. Begitu juga rakyat, sebenarnya lagi panas dengan kelakuan para elit yang seakan mempermainkan perasaan mereka. Rakyat panas untuk mencari pemimpin baru dan mengganti yang lama.

Di tengah panasnya temperatur politik ini, sosok Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta, muncul dengan kesan aneh dan langka. Keanehan dan kelangkaan itu sebenarnya bukan ada pada diri Jokowi itu sendiri, melainkan ada pada para elit politisi, pejabat dan para pemimpin. Sederhananya, mental dan gaya kepemimpinan Jokowi sudah sekian lama absen, sehingga hal itu terlihat aneh. Keanehan inilah yang lantas membuat awak media luntang-lantung memburu Jokowi.

Di beberapa lembaga survei baru-baru ini, nama Jokowi lantas selalu menjadi nomor urut satu sebagai tokoh potensial calon presiden di Pilpres 2014. Jokowi mengalahkan nama-nama senior yang sudah lama bercokol sebagai elit dan petinggi politik. Padahal Jokowi tak lebih dari seorang bocah politik yang baru lahir. Bahkan ia sendiri pernah mengakui bahwa dirinya bukanlah seorang politisi.

Meski Jokowi sendiri belum tentu menjadi dan mampu menjalankan fungsi kepresidenan, namun paling tidak fenomena sosok dirinya sekarang ini adalah fakta bahwa rakyat butuh perubahan pemimpin dan gaya kepemimpinan. Maka inilah yang disebut dengan krisis kepemimpinan nasional.

Sejarah mencatat, Indonesia di masa Presiden Soekarno dikenal sebagai negara yang banyak menyumbangkan konsepsi kepada dunia internasional. Peranan Indonesia di kancah internasional sangat terlihat jelas. Pencitraan Indonesia di mata dunia sangat baik. Maka wajar hingga sekarang, rakyat Mesir masih banyak yang mengenal Soekarno, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kairo. 

Selanjutnya di masa Presiden Soeharto, Indonesia terlihat memiliki arah dan tujuan yang jelas. Presiden Soeharto memfokuskan pada pembangunan dalam negeri Indonesia. Buktinya adalah proyek Pembangunan Lima Tahun atau yang dikenal dengan Pelita yang dijalankan Soeharto. Selama rezimnya berkuasa, Soeharto telah melaksanakan program Pelita hingga yang ke-7.

Ini semua tentu terlepas dari kontroversi dan kekurangan dari dua pemimpin kita tersebut.

Jadi, jika kita amati dan simpulkan, tsunami krisis kepemimpinan ini sebenarnya baru muncul pascareformasi. Indonesia di tangan para pemimpin dan elit masa reformasi terlihat tidak terarah, kehilangan karakter kebangsaan dan semakin jauh dari idealismenya. Sebab utamanya adalah karena pemimpinnya juga kehilangan karakter dan idealisme itu. Karena, sejatinya pemimpin bangsa adalah pembangun karakter bangsa.

Mengutip dari pernyataan Pramoedya Ananta Toer, Indonesia negara yang begitu kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusianya sekarang menjadi negara pengemis, karena ulah pemimpinnya yang tidak memiliki karakter. 

Untuk mengembalikan karakter dan idealisme kepemimpinan ini, beberapa lantas ada yang mencerminkannya dengan karakter pemimpin-pemimpin di luar negeri. Kepada Jepang misalnya, yang ketika pemimpinnya berbuat salah langsung mengundurkan diri. Tidak salah memang. Tapi sebenarnya Indonesia sendiri bukan tidak memiliki contoh dan teladan pemimpin seperti itu. 

Dalam sejarahnya, Indonesia bukan tidak punya pemimpin seperti itu. Di era perjuangan kemerdekaan, tidak sedikit sosok pemimpin yang diagungkan seperti Jokowi ini, bahkan jauh melebihi Jokowi. Logikanya, jika tidak ada, rasanya tidak mungkin Indonesia akan merdeka. Sebab kemerdekaan ini, tentu saja salah satunya adalah buah dari para pemimpin yang memiliki jiwa dan mentalitas yang luar biasa terhadap rakyat dan negara ini.

Namun sayangnya, kita sering kali melupakan atau dilupakan akan sosok-sosok kepribadian para pemimpin kita terdahulu. Sejarah mereka hanya sebatas diajarkan di sekolah, dan kemudian lupa di masyarakat. Atau juga karena adanya suatu “permainan” yang dengan sengaja menjauhkan kita dari mereka.

Maka, jalan pintas yang mungkin dapat kita tempuh untuk melahirkan kembali pemimpin yang berkarakter dan idealis ini adalah dengan membuka kembali lembaran sejarah negarawan kita. Kita tengah membutuhkan sosok-sosok pribadi negawaran masa dulu yang bisa kita teladani. Ini sangat penting kita lakukan, terlebih tahun ini adalah tahun persiapan Pemilu 2014.  

Para pejabat ataupun elit politik yang ingin bersaing di tahun 2014 perlu meneladani para negarawan yang pernah dimiliki Indonesia. Begitu juga bagi rakyat, paling tidak bercermin kepada negarawan dan teladan terdahulu dalam memilih dan menentukan pemimpin mereka nanti. 

Imam al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkâm al-Sulthâniyyah mengatakan: “Jika di antara kedua pemimpin ada yang lebih pandai dan yang lebih berani, maka yang lebih berani didahulukan ketika negara sedang banyak mendapat gangguan dari pemberontak. Namun jika negara diliputi oleh orang-orang ahli bid’ah, maka yang pandai yang lebih didahulukan.”

Dari pernyataan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kebutuhan kita terhadap karakter pemimpin itu disesuaikan dengan kondisinya. 

Dalam kacamata penulis, karakter dan idealisme pemimpin yang kita butuhkan sekarang ini pada dasarnya sangat sederhana. Inti dari karakter dan idealisme itu adalah pejuang dan perjuangan, mengingat kondisi negara kita sekarang yang masih berstatus negara berkembang, banyak dilanda berbagai krisis, hingga terpuruknya moral. 

Maka wajar saja sebenarnya, di tahun 1988 di bawah rezim Orde Baru, Menteri Penerangan, Harmoko, mengeluarkan larangan menyanyikan lagu-lagu cengeng. Lagu cengeng dianggap bisa menghambat laju program pembangunan Indonesia yang tengah dimotori oleh Soeharto. Karena mentalitas dan karakter cengeng jauh berseberangan dengan karakter pejuang.

Karakter dan idealisme perjuangan ini yang sekarang hilang. Bukan berarti pemimpin sekarang tidak ada perjuangan, namun terkadang di tengah perjuangan itu diselipkan atau kalah oleh kepentingan-kepentingan lainnya. Sehingga banyak kepentingan rakyat dan bangsa yang terabaikan.

Jika pemimpin memiliki karakter ini, seharusnya secara otomatis akan melahirkan energi positif lainnya, dari segi etos kerja hingga kepribadiannya. Seorang pejuang mestinya pekerja keras, menghasilkan kerja nyata, berani mengambil keputusan, tegas, tanpa pamrih, di samping juga berkepribadian yang sederhana dan bersahaja. Karena tidak mungkin seorang pejuang yang tengah berjuang bisa duduk santai dan menikmati kemewahan.

Alakhir, sesungguhnya karakter dan idealisme seperti ini tidak cukup dimiliki pemimpin seorang diri saja. Melainkan juga harus disalurkan kepada anak buah hingga seluruh rakyatnya. Dengan demikian terbentuklah karakter bangsa yang utuh, yang berawal dari karakter sang pemimpinnya. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -