Posted by : Unknown Rabu, 24 April 2013


Arus revolusi Mesir memang sudah tidak dapat dibendung lagi. Tepat tanggal 25 Januari 2011, rakyat Mesir kembali menorehkan sejarah perjalanan tanah air mereka. Gerakan rakyat yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dimulai hari itu serempak satu suara, “Rakyat ingin gulingkan rezim!”. Hari pertama itu mereka namai dengan “Hari Kemarahan”.

Vedi R. Hadiz, P.hD, seorang profesor di bidang politik dan sosiolog Asia mengatakan bahwa sebab-sebab pecahnya revolusi ini dapat dilihat dari berbagai segi, terutama dari kaca mata sosial. Ia menilai, arus urbanisasi yang sangat tinggi di Kairo, tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas dan penyediaan lapangan kerja yang cukup oleh pemerintah. Hal ini akhirnya memiliki dampak tersendiri terhadap psikologi masyarakat Mesir pada umumnya. Mereka lantas tidak puas lagi dengan pemerintah. Kekecewaan dan kemarahan menjadi satu, dan meledaklah seperti gunung meletus.

Walhasil, melihat kondisi Mesir yang kurang aman ketika itu, Amerika Serikat disusul China, Turki, Malaysia, dan beberapa negara lainnya memutuskan untuk mengevakuasi warganya dari Mesir. Meski sedikit lambat bereaksi, akhirnya pemerintah Indonesia juga turut mengirimkan pesawat untuk menjemput WNI di sini. Sebanyak enam gelombang evakuasi sudah dilakukan Satgas Evakuasi, dan sekitar setengah WNI di sini dipulangkan. Mungkin ini juga merupakan sejarah baru bagi bangsa Indonesia, mengevakuasi warganya secara besar-besaran dan dengan cuma-cuma.

Terlepas dari perkara apakah evakuasi WNI tersebut murni darurat ataukah hanya ajang untuk dapat liburan gratis, namun yang pasti ini adalah salah satu hikmah dari revolusi rakyat Mesir. Bencana bagi suatu kaum adalah manfaat bagi kaum yang lainnya. 

Alhamdulillah, beberapa teman Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir (KMKM) yang sempat ikut evakuasi dapat bertemu dan silaturrahim dengan keluarga mereka. Saya merupakan salah satunya. Tentunya kesempatan pulang ke banua tercinta, adalah sesuatu yang patut sekali untuk diambil manfaatnya. Salah satunya yaitu mengetahui keadaan masyarakat Kalimantan secara garis besar, dan khususnya umat Islam dalam ranah keberagamaan.

Menurut pengamatan saya selama pulang, tidak ada perubahan yang begitu signifikan dalam hal keberagamaan di tengah masyarakat, khususnya Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan, adalah masyarakat yang sangat kuat berpegang pada tradisi keislaman. Namun bukan berarti saya menyebut umat Islam di Kal-Sel adalah tradisionalis. 

Kebudayaan masyarakat yang membaur dengan ajaran-ajaran Islam sudah sangat mengakar di masyarakat. Ibarat akar tumbuhan, budaya dan ajaran tersebut adalah akar tunjang, bukan akar serabut yang mudah dicabut. Sesepuh-sesepuh kita sudah sangat kuat menanamkan pola keislaman yang sampai dekit ini masih bisa kita saksikan. Dan ternyata setelah ratusan tahun lamanya, pola keislaman seperti itu memang ampuh dalam dakwah kepada masyarakat. Semuanya juga memiliki landasannya masing-masing.

Kemudian hal ini menjadi masalah ketika pola yang sudah lama mengakar itu dibenturkan dengan pola baru. Pola baru yang digunakan ternyata masih majhul dan belum terbiasa dengan masyarakat kita. Memang bisa jadi kedua pola tersebut sama-sama bagus dan benar. Cuman perkaranya bukan ada pada benar atau salah, melainkan pola mana yang lebih cocok dengan masyarakat. Metode dakwah itu beragam, tidak hanya satu. Artinya metode yang dinilai pantas dan cocok dengan umat, maka itulah yang digunakan. Tanpa harus memaksakan sesuatu yang belum tentu cocok dengan masyarakat atau objek dakwah yang dituju.

Tinjauan psikologi masyarakat

Menurut beberapa temuan sejarah, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia itu sudah sejak zaman Rasulullah SAW. Menurut literatur Tiongkok sekitar tahun 625 M, perkampungan Arab Islam di pesisi Sumatra sudah ada. Ibnu Bathuthan, sekitar tahun 1345 M singgah di Aceh dan telah menuliskan bahwa mazhab Syafi’i telah tersebar di Aceh. Namun memang ledakan orang Indonesia yang hijrah agama ke Islam terjadi sekitar abad ke 15 M, di masa dakwah Walisongo.

Pendekatan dakwa yang dilakukan oleh Walisongo. Pendekaran yang mereka lakukan adalah dakwah kultural, bukan dengan penaklukkan dan pemaksaan. Walisongo dengan mahir bisa melakukan pendekatan dengan masyarakat pribumi yang ketika itu sebagian besar penganut Hindu dan Budha. Akulturasi dakwah dan budaya dilakukan Walisongo dengan rapi. Tradisi lokal dijadikan sebagai media dakwah. Dengan demikian masyarakat pun akhirnya dapat menerima dakwah tersebut dan memeluk Islam. 

Lantas bagaimana jika metode dakwah yang kita gunakan itu ternyata berbeda dengan pola budaya keberagamaan yang sudah mengakar di masyarakat tadi? Tentu saja yang akan terjadi adalah clash. Masyarakat belum tentu bisa langsung menerima metode dan pola baru dengan cepat. Dan ternyata ini terjadi di daerah kita oleh alumni Timur Tengah sendiri. 

Mengingat adanya beberapa kasus alumni Timur Tengah yang sepulangnya ke daerah ternyata berlawanan arus dengan pola keberagamaan masyarakat yang sudah ada, menjadikan masalah ini penting untuk ditinjau kembali. Perkara ini tidak hanya menyangkut alumni itu secara perseorangan saja, melainkan nantinya akan berdampak secara institusional. Jika ada salah satu alumni Al-Azhar misalkan yang pola dakwahnya menentang arus, maka akhirnya nama Al-Azhar secara lembaga akan menjadi penilaian masyarakat juga. Orang lantas akan menilai, “Oh, seperti ini ya alumni Al-Azhar?! Berarti alumni-alumni yang lainnya pun juga tidak jauh berbeda pemikirannya.” Satu orang yang berbuat, akhirnya yang lainnya ikut terkena imbasnya juga.

Masyarakat di daerah kita relatif memang masih belum begitu terbuka pandangannya terhadap Islam secara menyeluruh. Sedikit perbedaan saja, meski itu dalam ranah furu’, masyarakat terkadang sulit untuk menerimanya. Mungkin masih terngiang di telinga kita bagaimana perkara qunut yang dulu sering diperdebatkan habis-habisan antara golongan NU dan Muhammadiyah. Jadi, psikologi masyarakat yang seperti ini tentunya harus kita pelajari terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Kalaupun ada yang perlu diperbaiki, caranya harus dengan halus dan sedikit demi sedikit.

Setiap kepala dari kita memang memiliki pendapat masing-masing. Kita juga memang memiliki cara pandang yang mungkin sangat berbeda dengan yang lainnya. Latar belakang yang mempengaruhi kepribadian kita selama di sini pun juga berbeda-beda. Itu memang lumrah adanya. Namun meskipun demikian, kita tetap berada di bawah satu atap, dengan nama Azhari. Jadi sepatutnya kita juga menjaga citra institusi kita tersebut di mata masyarakat. Alumni Al-Azhar memang tidak satu warna, namun untuk turut mengharumkan namanya adalah satu tujuan kita bersama. Karena itu adalah salah satu cara kita membalas jasa dan kebaikan-kebaikan Al-Azhar selama menimba ilmu di dalamnya. Wallahu’alam. []

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -