Posted by : Unknown Senin, 15 April 2013


“Bergeraklah dan menggerakkan!” Bagi santri Pondok Modern Darussalam Gontor, nasihat ini mungkin sudah ribuan kali didengar selama monpondok. Tidak berlebihan memang jika nasihat ini jika terus diulang-ulang hingga tertanam ke jiwa yang terdalam di setiap santri. Bahkan bukan hanya sekedar dinasihatkan dalam bentuk ucapan, melainkan juga pondok membentuk sistem dan pola kehidupan di dalam asrama yang membuat santri dengan sendirinya melaksanakan nasihat tersebut. Ini menggambarkan begitu penting dan berharganya nasihat ini kepada santri.

Pendidikan total atau totalitas pendidikan yang diterapkan oleh Pondok Modern Gontor memang membuatnya berbeda dari lembaga pendidikan lainnya. Bagi Gontor, pendidikan itu tidak cukup dengan pengajaran atu tranformasi ilmu saja, melainkan juga dengan pembiasaan. Untuk dapat membiasakan, maka dibentuklah peraturan-peraturan yang sifatnya mengikat. Tidak hanya di situ, para santri juga dibebani dengan berbagai macam penugasan. Tidak hanya dengan penugasan saja, para santri pun lantas diberikan bimbingan dan pengawasan dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut. Begitulah totalitas pendidikan yang diterapkan Gontor.

Di tengah krisis pendidikan berkarakter yang melanda negeri kita, ternyata Gontor bertindak lain. Meski sering dikatakan melawan arus dari sistem pendidikan negeri di Indonesia, buktinya Gontor tetap eksis menjalankan fungsinya. Pola pendidikan Gontor yang totalitas ini ternyata terbukti cukup berhasil dalam membentuk karakter santri. 

Sejatinya, totalitas pendidikan yang diterapkan di Gontor itu adalah bentuk aplikasi kongkrit dari nasihat “Bergeraklah dan menggerakkan”. Pola pendidikan total yang dibentuk oleh Gontor pada intinya bagaimana membuat para santri itu bergerak. Penugasan-penugasan yang diterima santri itu mendidik santri untuk selalu menggerakkan.

Ada hal yang menarik yang mungkin perlu kita perhatikan. Mengapa nasihat bergerak dan menggerakkan ini tidak dipisah. Bergerak tidak berdiri sendiri. Begitu juga dengan menggerakkan. Keduanya selalu dirangkaikan menjadi satu kalimat perintah atau kalimat nasihat. Tentu penggabungan dua kalimat perintah ini mengandung filosofi tertentu.

Salah satu filosofi yang mungkin dapat kita ambil adalah menghilangkan sifat egois dalam hidup bermasyarakat. Jika kata bergerak saja yang dinasihatkan, bisa saja santri akan terdidik untuk selalu mementingkan diri sendiri saja, tanpa mau memikirkan orang lain. Maka untuk mencegah hal itu, disertakanlah nasihat lain yang lebih penting dari sekedar bergerak, yaitu menggerakkan. Menggerakkan berarti ada objek yang digerakkan atau orang lain. Jika kita menggerakkan orang lain, artinya kita juga memikirkan orang tersebut, sehingga terhindar dari sikap egois yang mementingkan diri sendiri.

Filosofi lainnya adalah, untuk dapat menggerakkan, maka harus dimulai dari diri kita yang harus bergerak. Dalam hal ini, terdapat unsur keteladanan yang harus kita terapkan jika ingin menggerakkan orang lain. Keteladanan itu tentu saja bermula dari diri kita. Kita terlebih dahulu yang bergerak, baru setelah itu menggerakkan orang lain.

Nasihat ini sebenarnya juga menjadi landasan filosofi utama bagi seorang pemimpin. Berperan sebagai pemimpin apapun kita, nasihat ini harus kita terapkan. Bahkan dalam skala kecil, sebagai pemimpin keluarga misalkan. Atau jika tidak, sebagai pemimpin atas diri kita sendiri. Kita harus dapat bergerak dulu, sebelum menggerakkan yang lainnya. Menggerakkan diri sendiri, artinya kita bergerak.

Pendidikan berkarakter penggerak seperti inilah yang menjadi salah satu krisis dalam dunia pendidikan Indonesia. Tuntutan anak didik untuk bergerak tidak seimbang dengan tuntutan untuk menggerakkan. Sistem pendidikan yang diterapkan pun juga tidak menuntut anak didik untuk bisa seimbang antara bergerak dan menggerakkan. Alhasil, output lembaga pendidikan Indonesia kebanyakan lebih berkarakter mementingkan diri sendiri, tanpa berkarakter untuk banyak mementingkan maslahat orang lain atau maslahat bersama.

Dalam ukuran yang lebih jauh lagi, nasihat ini juga merupakan cikal bakal bangkitnya sebuah peradaban, termasuk peradaban Islam. Peradaban Islam mungkin tidak akan bertahan hingga sekarang ini, jika Rasulullah tidak menggerakkan dakwahnya. Meski dalam prosesnya, Rasullah SAW banyak sekali menghadapi tantangan selama mengerakkan dakwah di Makkah, baik itu berupa penganiayaan, fitnah dengan propaganda, hingga dengan pemboikotan. Rasulullah SAW tidak pernah berhenti untuk menggerakkan dakwah, yang pada akhirnya juga menyentuh para Sahabat untuk berdakwah juga.

Oleh karena itu, di tengah “tertidurnya” peradaban Islam sekarang ini, maka filosofi “Bergerak dan menggerakkan” ini harus kembali digalakkan. Ketertinggalan umat Islam dari peradaban Barat sekarang ini bukan karena ada yang salah dengan agama Islam, atau karena Islam tidak relevan di zaman modern, melainkan karena umat Islam kalah gerakan dari Barat. Gerakan itu meliputi segala lini dalam kehidupan, hingga dari sendi yang terkecil. 

Mungkin sekarang banyak orang berbicara dan membanggakan bahwa capaian ilmu pengetahuan Barat sekarang itu adalah buah dari cikal bakal dari Islam. Tapi sebenarnya bukan itu yang patut kita banggakan sekarang. Permasalahannya sekarang adalah, bukan siapa yang memulai, akan tapi siapa yang menggerakkan. Dan juga bukan siapa yang bergerak dan menggerakkan lebih dahulu, akan tetapi siapa yang paling banyak bergerak dan menggerakkan. Maka wajar jika peradaban Barat bisa lebih maju, karena pada realitanya merekalah yang bergerak dan menggerakkan, serta dalam porsi yang banyak.

Padahal filosofi bergerak dan menggerakkan ini substansinya sangatlah dekat dengan ajaran Islam. Islam begitu menjunjung tinggi nilai sebuah ilmu. Akan tetapi ilmu itu didapat dengan belajar atau menuntutnya. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Rasulullah SAW, “Barang siapa yang Allah menginginkan kebaikan kapadanya, maka Dia akan memahamkannya, dan sesungguhnya ilmu itu (didapat) dengan belajar.” Belajar untuk menuntut ilmu adalah bentuk sebuah gerakan. Selain itu, kita juga diajarkan untuk mengaplikasikan ilmu yang kita ketahui ke dalam sebuah amalan atau perbuatan. Seperti yang dikatakan oleh pepatah, “Ilmu tanpa amal adalah seperti pohon yang tak berbuah.” Perbuatan itu juga adalah sebuah gerakan. 

Mungkin ada benarnya perkataan orang yang mengatakan, “Masyarakat Barat maju ketika meninggalkan agamanya, sedangkan umat Islam mundur juga karena meninggalkan agamanya atau nilai-nilai dalam agamanya.” Maka jika kita ingin mengembalikan peradaban Islam seperti kejayaannya di abad Pertengahan ketika peradaban Barat mengalami kegelapan, umat Islam harus kembali bergerak dan menggerakkan. Jika satu filosofi ini saja yang tertanam dalam jiwa seluruh umat Islam, niscaya hasinya akan sangat dahsyat. Peradaban Islam yang tengah “tertidur” pun akan bangun dan bangkit kembali. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -