Posted by : Unknown Selasa, 14 April 2015

Beberapa saat lagi kita memasuki era kepemimpinan baru. Era di ana harapan baru juga muncul di tengah rakyat Indonesia. Tidak ada salahnya untuk terus berharap adanya perbaikan di negeri ini. Harapan yang baik tentu dituangkan melalui keikutsertaan dalam Pemilu mendatang. Karena harapan jika diiringi dengan aksi golongan putih (Golput) tidaklah berarti apa-apa.

Banyak harapan yang muncul menjelang regenerasi kepemimpinan nasional ini. Sekian banyak harapan tersebut berujung adanya perbaikan dalam segala bidang. Namun ada hal yang mendasar yang perlu diperbaiki terlebih dahulu, jika kita memang ingin mengadakan perbaikan yang serius. Hal tersebut adalah perbaikan di bidang birokrasi.

Pasalnya, walau bagaimanapun kita meneriakkan perubahan, perbaikan, peningkatan kesejahteraan publik, kepastian hukum, kemakmuran, kesejahteraan, dan seterusnya, jika tanpa diawali dengan langkah dasar melakukan perbaikan birokrasi, hasilnya akan nihil. Semua harapan dan teriakan tersebut tidak akan terwujud, selama birokasi korup di negeri ini masih membudaya.

Buktinya, sudah lebih dari satu setengah dekade reformasi di negeri kita ini bergulir, hasilnya tak ada perbaikan signifikan yang kita rasakan. Mirisnya, belakangan ini malah banyak lelucon anekdot, baik itu ditulis di kaos oblong, stiker, maupun media lainnya, yang menyatakan bahwa era Orde Baru lebih enak dan baik dari sekarang. Ada juga tulisan, “Seandainya pak Harto mencapres lagi, kupilih!”

Padahal, soal penyakit birokrasi antara masa Orde Baru dan era reformasi saat ini tidak jauh berbeda. Penyakit utamanya hampir sama. Cuma kemasannya yang berubah.

Di masa Orde Baru, wajah birokrasi negara kita didominasi oleh Golongan Karya (Golkar) dan ABRI. Semua PNS wajib menjadi anggota Golkar. Pada dasarnya Golkar memang tidak ingin disebut sebagai partai politik, melainkan lebih sebagai himpunan pekerja karya yang mengabdi kepada rakyat.

Mengingat fungsi Golkar yang juga sebagai partai politik, akhirnya kebijakan yang keluar dari corong birokrasi yang dimonopoli tadi lebih berpihak kepada kepentingan suatu golongan tertentu saja. Birokrasi akhirnya menjadi alat untuk mobilisasi massa guna mendukung dan memenangkan Soeharto di setiap Pemilu. Sistem birokrasi ketika itu sudah menganut monoloyalitas kepada Golkar.

William Liddle menyebut penyakit Orde Baru ini ke dalam tiga hal, yaitu: 1) kantor kepresidenan yang kuat; 2) militer yang dibiarkan berpolitik; 3) birokrasi sebagai pusat pengambil kebijakan publik.

Kantor kepresidenan yang kuat ini berimplikasi pada pelemahan fungsi parlemen dan partai politik. Kontrol lembaga legislatif terhadap eksekutif seakan menjadi seekor singa yang tak bertaring. Di sinilah biangnya yang sering kita sebut sebagai pemerintahan otoriter.
Kemudian untuk semakin memperlemah partai politik di parlemen, militer pun dibiarkan berpolitik. Tujuan lainnya adalah untuk memperkuat dan memperkokoh kedudukan Soeharto dalam setiap Pemilu presiden. Suatu kebijakan yang sangat bertentangan dengan prinsip sang Proklamator, Soekarno, bahwa militer tidak boleh berpolitik. Tugas militer hanyalah menjaga stabilitas keamanan negara.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis laporannya pada 2000. Di masa Orde Baru banyak sekali terjadi praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam lingkup birokrasi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan publik. Sementara itu, hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang juga pada 2000, menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara korupsi tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Lantas bagaimana dengan kabar birokrasi kita di era reformasi?

Reformasi memang membawa cukup banyak perubahan, baik dalam amandemen konstitusi, kebebasan pers dan berpendapat, dan sebagainya. Indonesia seperti seekor burung yang lepas dari sangkarnya, menghirup udara bebas. Monoloyalitas terhadap satu partai atau golongan sudah lenyap.

Salah satu barometer untuk mengukur bagus tidaknya birokrasi yang tengah berjalan di negeri kita ini adalah dengan melihatnya dari angka korupsi di kalangan birokrat. Jika dilihat berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2010, ternyata tingkat korupsi di negara kita masih tinggi.

Di era reformasi, birokrasi justru menjadi sumber pemborosan biaya anggaran negara. Tercatat, di hampir 450-an kabupaten/kotamadya di Indonesia, sebanyak 70 persen anggaran daerah dikeluarkan untuk belanja pegawai. Akhirnya pembangunan daerah menjadi relatif lambat, akibat korban dari pemborosan tadi.

Soal persepsi dan framework yang ada di kalangan pegawai birokrat pun masih menjadi masalah klasik yang hingga kini belum terselesaikan. Persepsi itu bahkan semakin berkembang, hingga muncul anggapan di tengah masyarakat bahwa menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai birokrat itu suatu hal yang prestisius, terutama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Ketika sudah menjadi pegawai birokrat, ternyata banyak juga yang lupa bahwa mereka itu digaji dari uang rakyat. Selama ini banyak dari mereka yang beranggapan bahwa gaji tersebut berasal dari pemerintah. Akibatnya, pelayanan publik pun menjadi tidak maksimal. Rakyat yang seharusnya menjadi tuan yang mesti dilayani dengan baik, justru ‘wajib’ hormat kepada pejabat birokrat.

Publik selalu dijadikan sebagai objek kepentingan para pejabat birokrat. Untuk mengeluarkan kebijakan pelayanan publik, masih banyak hitung-hitungan untung-rugi bagi kelompok tertentu. Ini semua disebabkan rendahnya rasa pertanggungjawaban pejabat birokrat kepada publik. Mereka merasa bertanggung jawab kepada atasannya saja.

Lebih jauh lagi, birokrasi yang seharusnya apolitik, di era reformasi justru berubah menjadi birokrasi politik. Artinya birokrasi sudah sarat dengan pertimbangan politik dan kepentingan partai politik tertentu. Birokrasi dijadikan barang dagangan politik. Yang menjadi pemain adalah para elit politik, lembaga eksekutif, legislatif hingga yudikatif, plus para pengusaha. Buktinya, sekarang korupsi sudah masuk sampai kepada ketua Parpol, bahkan Mahkamah Konstitusi.

Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban rusaknya birokrasi di negeri ini. Perbaikan yang diharapkan seluruh rakyat Indonesia sejak awal reformasi lalu, ternyata nihil. Tidak sedikit rakyat yang hampir atau bahkan sudah pesimis memandang masa depan negara ini, bahkan hingga pelaksanaan Pemilu sudah di ambang pintu.

Sekarang di masa-masa kampanye, menjadi tugas Parpol untuk menumbuhkan harapan itu lagi. Partai apa pun pemenang Pemilu nanti, sudah seharusnya benar-benar melakukan reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya dilakukan dengan pengubah aturan-aturan dan mekanisme kerja saja, melainkan harus beranjak dari reformasi persepsi dan framework. Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali
Dimuat di harian Banjarmasin Post pada Selasa, 25 Maret 2014.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -