Posted by : Unknown Kamis, 16 April 2015

Beberapa hari lalu masyarakat, khususnya umat Islam, dihebohkan dengan tindakan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menutup atau memblokir sejumlah laman situs internet bernuansa Islami. Alasannya adalah, laman situs tersebut dianggap situs-situs yang menyuarakan radikalisme. Namun akhirnya, publik pun bereaksi dan mempertanyakan langkah pemerintah tersebut. Mulai dari benarkah laman situs tersebut mengandung unsur radikalisme, sampai pada mekanisme penutupannya.

Satu hal yang memang menjadi kesepakatan bersama adalah, bahwa paham-paham radikalisme memang harus dilawan dan jangan dibiarkan tumbuh subur. Radikalisme, apalagi yang mengatasnamakan agama Islam, bukan saja membahayakan stabilitas negara, melainkan juga sejatinya telah mengotori kesucian agama Islam itu sendiri.

Agama Islam adalah agama yang penuh dengan nilai-nilai kedamaian, lemah lembut, rahmatan lil ‘alamin, yang semua itu tentu sangat bertentangan dengan radikalisme. Nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah merupakan nilai-nilai yang universal yang sejatinya dapat diterima oleh semua kalangan melalui akal pikiran maupun hati nurani, dan bukan dengan paksaan. Karena di dalam al-Quran sendiri telah ditegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.

Terlebih kita meyakini bahwa soal hidayah adalah urusan Allah, dan bahkan Rasulullah pun tidak memiliki kewenangan untuk itu. Jadi apalah artinya paksaan dalam menjalankan agama, kalau Allah memang belum memberikan hidayah-Nya. Sehingga dengan demikian, radikalisme memang tidak sedikitpun mendapat tempat di dalam agama Islam.

Jadi, radikalisme harus diberantas bukan saja berlandaskan alasan-alasan nasionalitas, melainkan juga berdasarkan alasan-alasan agama Islam itu sendiri.

Namun di lain sisi, bahwa salah satu penyebab munculnya paham radikalisme yang lahir dari pemahaman ajaran agama Islam, itu memang harus kita akui secara jujur. Namun ini tidak dapat diartikan bahwa ajaran Islamnya yang salah, melainkan pemahaman terhadap ajaran Islam tersebut yang mungkin keliru. 

Pemahaman ajaran Islam yang mungkin keliru ataupun diselewengkan itu memang harus diberikan pencerahan melalui pemahaman tandingan. Maka dalam konteks ini, pemikiran moderat bisa menjadi jalan keluarnya. Pemikiran moderat yang memang lahir dari pendalaman, penafsiran dan penghayatan terhadap ajaran agama Islam itu sendiri, bukan pemikiran moderat yang lahir dari ajaran-ajaran nasionalisme. Karena biasanya, kelompok-kelompok yang memahami ajaran Islam secara radikal itu susah menerima argumentasi-argumentasi yang dibangun dari ajaran nasionalisme.

Maka di sinilah peranan penting dakwah dalam memberantas paham-paham radikal yang muncul dari kalangan umat Islam. Dakwah yang dibangun adalah berbasis pada ilmu, seperti yang telah dicontohkan dan dilakukan oleh para ulama terdahulu. Dengan kedalaman ilmunya, para ulama terdahulu sebut saja seperti Imam Syafi’i atupun Imam al-Ghazali, mampu menghalau pemikiran-pemikiran yang melenceng dari ajaran Islam sesungguhnya.

Hal ini tentu tidak hanya menjadi pekerjaan pemerintah dalam memerangi paham radikalisme, melainkan juga pekerjaan semua pihak, terutama para ulama. Dakwah-dakwah dengan ilmu dan tindakan persuasif lah yang harus dikedepankan. Bahkan dalam bahasa yang sedikit berlebihan, berkembang pesatnya paham radikalisme ini seharusnya menjadi “tamparan” bagi para ulama.

Tindakan Represif

Terkait dengan kasus pemblokiran laman situs-situs yang dianggap radikal tadi, tindakan pemerintah tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan represif. Tentu tindakan represif ini tidak dapat dibenarkan dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi dan negara hukum.

Dari sisi demokrasi, tindakan represif ini jelas sangat bertentangan dengan semangat demokrasi, terlebih yang kita bangun pascareformasi. Jika tindakan represif ini dilakukan pemerintah saat ini, lantas apa bedanya dengan rezim orde sebelumnya yang juga represif. Jika kebebasan pers dikekang sampai pada tindakan pembredelan, lantas apa bedanya dengan situasi sebelum reformasi. Padahal salah satu dari semangat reformasi adalah dibukanya kebebasan pers.

Dalam negara demokrasi, semua warga negara diberi kebebasan berekspresi, berpikir, menyatakan pendapat, bahkan melakukan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa sekalipun. Sehingga dalam konteks ini, seharusnya umat Islam pun dapat merasakan atmosfer demokrasi seperti itu. Terlabih mayoritas warga negara dan penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Bukan malah umat Islam mengalami tindakan diskriminasi dan intoleransi di dalam negara yang notabene negara Muslim terbesar di dunia. Dengan kata lain, jangan sampai agenda deradikalisasi justru berubah menjadi deislamisasi.

Bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat tersebut harus diikat di dalam sebuah kepentingan nasional, maka dalam hal ini penulis pun sepakat. Sebagai contoh, kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak berlaku bagi pahaman komunisme di negeri ini, karena penyebaran paham itu memang telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Di sinilah peranan hukum dan pentingnya keseimbangan antara negara demokrasi dan negara hukum.

Maka dari sisi hukum, proses penutupan laman situs-situs tersebut pun seharusnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Namun sayangnya, proses penutupan tersebut telah melompati prosedur hukum yang ada. Seharusnya penutupan dilakukan atas izin hakim melalui mekanisme peradilan, setelah sebelumnya tentu disertai dengan bukti-bukti hukum bahwa laman situs tersebut memang melanggar undang-undang. Bukan malah ditutup secara sepihak, bahkan pemilik laman situsnya pun tidak menerima peringatan terlebih dahulu.

Dengan demikian, jika upaya deradikalisasi ini justru dilakukan dengan cara-cara yang represif, penulis meyakini bahwa upaya tersebut akan sia-sia saja. Bahkan dengan cara-cara yang represif ini, justru akan menumbuh-subuhkan radikalisme itu sendiri. Mengapa demikian? Hal ini karena kelompok-kelompok yang berpaham radikal tersebut merasa didzalimi atau merasa berada di dalam pemerintahan yang dzalim. Sehingga demikian, semangat “jihad” pun semakin berkobar dan menggelora untuk melakukan tindakan radikal.

Alhasil, terhadap laman situs-situs yang diblokir—terlepas dari apakah laman situs-situs tersebut memang mengandung unsur-unsur yang menyerukan kepada radikalisme atau tidak—seharusnya pemerintah tetap bisa melakukan tindakan-tindakan persuasif. Jika pemerintah bersikukuh bahwa laman situs-situs tersebut memang memuat konten yang mengandung unsur radikalisme—meski menurut penulis tidak semua situs yang diblokir itu sebenarnya murni berpaham radikal—lalu menutupnya secara represif, maka ini artinya “radikalisme” dilawan dengan “radikalisme”. Padahal radikalisme tidak dapat diselesaikan dengan radikalisme, karena hanya akan semakin memperkeruh suasana. Wallahu’alam.[]

Oleh: Ahmad Sadzali

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Katalog

Arsip

Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Notes of Sadzali -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -